Novel Sepeda Jengki

Sepeda Jengki

Kupersembahkan tulisan ini untuk

Ibuku dan Ayahku tercinta

Yang telah tergores hatinya sebagai tanda permohonan maafku kepadanya

Serta untuk kakak-kakakku tercinta

Ibnu Thoha

Sinopsis

Sepeda Jengki
Sepeda Jengki ini merupakan tulisan konyol perdana dari Ibnu Thoha yang sok namun sebenarnya tak percaya diri dan insya Allah akan membuat pembaca menemukan kisah tak etis dan sedikit menggelitik serta setetes derita yang menjadi sebuah pelajaran moral yang patut dibaca bagi mereka yang hampir kehilangan jati diri.

Dalam hatiku aku bergumam, ”Maafkan aku Ibu, kalau a-ku telah berbohong…………………..
Sebuah pendapat mengatakan, ”Suatu masalah ada un-tuk diselesaikan bukan untuk dihindari………..
Digosok-gosoknya perut wanita kecil ini dengan balsem hingga habis satu botol balsem merek ”RHEUMASON” warna merah. Tapi kakakku belum juga sadar….. Mung-kinkah ia telah mati..?
Para Pengamen punya cara tersendiri dalam usaha menghibur para penumpang yang tak butuh hiburan… Apa yang dilakukan pengamen-pengamen ini….?

Temukan kisah berikutnya dalam karya perdana Ibnu Thoha ini kawan, insya Allah kau akan menemukan hal yang menarik dan penuh makna.

Gurindam Ibnu Thoha

Assalamu’alaikum wr.wb.

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin rasa syukur dan terima kasih kupanjatkan kehadirat Maha Pengatur bintang dan angkasa sehingga tiada bertubrukan antara si cantik bulan purnama dan si genit bintang kejora yang senantiasa menger-lipkan matanya untuk menggoda siapapun yang melihat dan meliriknya.

Beribu shalawat diiringi salam penuh hormat dan tunduk akan sunnahnya bagi Rasulullah SAW yang menurun-kan budi pekertinya sebagai teladan bagi umatnya yang sekarang banyak tak menghiraukan peringatan Beliau supaya senantiasa berpegang teguh terhadap si buku mulia Al Qur’anul Karim beserta catatan penuh hikmah yang pengum-pulannya penuh pengorbanan harta, jiwa, raga dan waktu dari para ulama tabiin dan tabiit tabiin, Hadits. Semoga kita di hari akhir nanti memperoleh syafaatnya. Amiin

Dengan hati tawadhu’ kuungkapkan rasa syukurku kepada Tuhanku, Allah Azza wa Jalla karena dengan qadrat dan iradat-Nya coretan konyol inipun akhirnya selesai tepat bersamaan 5 tahun dari peristiwa tak bermutu ini terjadi. Kuberharap dalam tulisan ini Allah menganugerahkan keis-tiqamahan kepadaku sehingga kejadian ini tak pernah terulang lagi hingga ajal menjemputku untuk bertemu Sang Maha Diraja, Allah SWT.

Ucapan terima kasih ku ucapkan dan ku haturkan pada kedua orang tuaku yang senantiasa mendoakanku dan merawatku semenjak kecil baik dalam kesusahan maupun kesenangan. Ucapan terima kasih juga ku sampaikan kepada kakak-kakakku yang berjumlah 7 orang. Selanjutnya ucapan terima kasih untuk sahabatku, Istiyanto Khabyby dan Belly Agustian Anwar serta Mas Iman Nurjaman yang dengan suka rela tanpa meminta balasan meminjamkan komputernya untuk mengetik tulisan ”Sepeda Jengki” ini sehingga selesai sesuai harapanku. Aku juga berterima kasih kepada Bapak Ir. Sidiq Budiyanto (Ketua Dompet Sosial Al Kautsar) yang menyemangatiku untuk terus semangat dalam menyelesaikan tulisan ini. Ku juga berterima kasih kepada Andrea Hirata sang Penulis novel tetralogi “LASKAR PELANGI” meskipun ia tak tahu berkat tulisannya itu aku jadi lebih semangat dan mohon maaf jika ada sedikit kata-katanya yang kukutip tanpa pamit karena ketidaktahuanku bagaimana cara meminta izin kepadanya. Walaupun tulisan ini diketik di tengah kesibukkanku sebagai seorang karyawan Perusahaan Swasta yang menyita sebagian waktuku, juga di tengah kesibukkanku mengurus Perpustakaan Dompet Sosial Al Kautsar (DSAK) akhirnya selesai juga. Kuberdoa semoga tulisan ini bisa menjadi pelajaran dan dapat diambil ibrah dan hikmahnya bagi siapa saja yang membacanya termasuk bagi si badung sendiri.

Karena akibat tindakan seperti si badung akan mampu merepotkan orang banyak yang dengan rela mau direpotkan, mencemarkan nama baik yang nama baik itu sendiri tak peduli kalau ternyata dirinya dicemarkan karena dia hanyalah sebuah kata tapi tindakan itu berpengaruh terhadap si pemilik kata nama baik itu seperti Desa, Keluarga, Teman, Kakak, Guru, dan tentunya si pelaku itu sendiri seperti yang dilakukan ”Ibnu Thoha”. Padahal sebuah nama baik akan berguna disaat kita dewasa nanti guna mencari pekerjaan dan mencari sebuah kepercayaan dari orang yang kita ingin agar orang tersebut percaya pada kita.

Tak ada gading yang tak retak, apalagi ini adalah tulisan pertamaku sehingga daripada itu kritik dan saran, serta nasehat yang membangun sangat Ibnu Thoha harapkan.

Wassalamu’alaikum wr.wb.

Jakarta, Januari 2008 M

Penulis

Pedal 1

Desa kecilku

Suasana kedamaian dan asri tanpa asap polusi masih bisa dirasakan. Udara yang masih terasa bersihnya selalu menjadi asupan oksigen bagi warga desa kecil yang berada di perbatasan 3 kecamatan. Kecamatan Sragi di sebelah barat, kecamatan Bojong di sebelah selatan dan kecamatan Wiradesa di sebelah timur sedang di utara dibatasi oleh rel kereta api yang daerah seberangnya masuk wilayah Sragi dan Wiradesa. Semua kecamatan tersebut termasuk dalam Kabupaten Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah, pulau Jawa, Negara Indonesia, Regional Asia Tenggara, Benua Asia, Dunia / Bumi, Galaksi Bima Sakti, Alam Semesta.

Desa mini ini yang namanya diambil dari nama sebuah bunga berpenduduk kurang lebih 1500 jiwa. Dengan agama Islam menjadi agama yang dianut hampir seluruh warganya. Tak ada agama lain di desa ini. Dan sebagian penduduknya berprofesi sebagai petani. Walaupun ada yang berprofesi sebagai pedagang, guru, dokter dan penjahit. Padi masih menjadi idola tanaman di sawah. Dengan sebagian penduduk yang berpenghasilan dari padi maka di desa ini dibangunlah Pabrik Penggilingan Padi oleh seorang yang beruang. Beliau adalah H.Baedlowi. Meskipun sebenarnya pabrik tersebut posisinya ada di wilayah Sembung Jambu, Bojong.

Namun sekarang keadaan begitu memprihatinkan. Hampir semua remaja dan pemudanya merantau ke kota dan ke negeri orang. Sebagian memang sudah lulus SMA tapi tak sedikit yang baru lulus SD sudah merantau. Sehingga ketika kita datang ke Tunjungsari tidak pada Hari Raya kita tak akan menemui banyak remaja dan pemuda di sana. Yang ada hanyalah nenek-nenek dan janda-janda muda. Janda karena mereka banyak yang di tinggal suaminya ke kota walaupun sebenarnya mereka belum bercerai tapi ada juga yang memang janda betulan bukan bohongan. Padahal untuk merantau tidaklah segampang yang dibayangkan. Pendidikan sangatlah penting untuk mengarungi derasnya arus kehidupan kota. Apalagi pendidikan agama. Jika pendidikan agama kita dangkal atau iman kita tak tebal kita bisa terbawa arus yang menyeret kita ke dalam lumpur kehinaan dan lembah kegelapan serta kemaksiatan. Godaan kehidupan kota yang begitu materialistis, hedonis, apatis, dan individualis sanggup merubah seorang yanng tadi paginya Mukmin dan Muslim sorenya berubah menjadi Kafir dan murtad. Yang tadi siang adalah saudara, malamnya bisa menjadi musuh. Kalau malamnya adalah kawan siangnya bisa menjadi lawan.

Keadaan sekarang juga memprihatinkan. Remaja Tunjungsari yang dulu dikenal santri hingga jika ada teman mereka yang mau main jadi malu karena merokok dan tidak pakai kerudung. Kini remaja Tunjungsari sendirilah yang tanpa malu-malu lagi mengum-bar aurat mereka sendiri. Rambut terurai tanpa penghalang kerudung menjadi pemandangan yang bisa dikatakan lumrah sekarang. Atau bahkan memakai pakaian seperti LEPET yang begitu ketat sekarang menjadi tren mode. Padahal dengan gelar sebagai desa dengan semua penduduknya MUSLIM seharusnya pemandangan seperti itu tak pernah terlihat di desa ini. Namun kenyataan bercerita lain. Remaja muslim seolah dengan sukarela menyerahkan harga diri pakaian dan aqidah keislamannya kepada budaya barat yang begitu rendah. Sekali lagi begitu rendah. Semua budaya barat diembatnya mentah-mentah tanpa berpikir panjang. Idola mereka bukan lagi Nabi Muhammad ataupun para sahabat. Idola mereka sekarang adalah Delon, Rossa, Britney Spears, Madonna, Michael Jackson, BackstreetBoys, Ronaldinho, Agnes Monica, atau bahkan Inul daratista yang oleh seseorang diplesetkan namanya menjadi Inul Darah SETAN. Bolehlah mereka dijadikan idola khususnya dalam semangat berkreasi dan bekerja. Tapi kalau yang ditiru yang buruk-buruknya bagaimana? Sungguh miris hati ini. Kalau orang seperti aku saja miris bagaimana dengan para orang tua. Kita tanyakan saja pada rumput yang bergoyang. Budaya merokok bagi laki-laki seolah menjadi wajib. Kalau seorang aktivis organisasi saja merokok bagaimana dengan yang bukan aktivis. Atau kalau seorang ulama saja merokok bagaimana dengan umatnya. Padahal akibat dari merokok telah dicantumkan di bungkusnya. Mulai dari impotensi yang merupakan monster bagi seorang lelaki, serangan jantung, kanker hingga gangguan kehamilan dan janin. Namun produk olahan dari daun hijau yang cantik itu begitu memesona bagi remaja khususnya laki-laki. Katanya kalau tidak merokok banci & tidak gaul. Padahal itu hanyalah hasutan dari setan yang selalu mengajak manusia pada kehancuran. Dan bisa dibuktikan tanpa rokokpun seseorang bisa berprestasi dan tetep punya teman banyak yang berarti pergaulannya luas, iya kan! Ada lagi mitos bahwa merokok adalah hak asasi manusia dan jika mereka dilarang berarti yang melarang seseorang merokok maka ia telah melanggar HAM seseorang. Padahal yang merokoklah yang melanggar HAM orang yang tidak merokok untuk menghirup udara yang bersih dan tidak beracun (Republika, 5/9/07).

Wilayah desa ini termasuk dalam kawasan Kecamatan Sragi. Namun tahun 2004, bulan September Sragi dimekarkan menjadi 2 Kecamatan; Kec.Sragi di sebelah selatan dan Kec.Siwalan untuk bagian utara. Desa Tunjungsari kini masuk ke dalam Kec.Siwalan. Dengan Rukun Tangga (RT) sebanyak 17 dan Rukun Warga (RW) sebanyak 4. Desa ini juga dibagi menjadi beberapa dukuh. Dukuh Kauman, Dukuh Tunjung, Dukuh Klanyah, dan Dukuh gempol. Masing-masing dukuh merupakan nama lain dari Rukun Warga. Desa yang letaknya tidak dekat pantai juga tidak di pegunungan ini dipimpin seorang lurah/kepala desa yang dipilih setiap 5 tahun sekali melalui pemilihan secara langsung yang acara pemilihan tersebut kami menyebutnya dengan ‘KODRAH LURAH’. Seorang kepala desa tidaklah digaji. Tapi ia mendapatkan sebuah sawah sepetak yang lebar yang kami sebut dengan ‘BENGKOK’. Cara bacanya bukan bengkok yang berarti melengkung tapi kata ‘BE’ di sini dibaca seperti kita mengucapkan ‘SE’ pada kata ‘SEDIH’.

Pemerintah desa menyediakan sarana dan prasarana. Dalam bidang pemerintahan sebuah Balai Desa terletak di tengah jantung desa yaitu di RT 07 RW 02. Bangunannya khas Jawa Tengah berbentuk ‘joglo’. Dalam bidang kesehatan di desa ini terdapat sebuah PUSKESMAS dengan sepasang suami-istri yang menjadi dokter di sana. Mereka berasal dari Semarang. Tanah pemakaman di desaku ada 4 tempat, 2 di Kauman, 1 di Tunjung, dan 1 lagi di Klanyah. Dalam urusan irigasi air terdapat sebuah sungai besar di bagian barat yang lebarnya ± 25 meter dengan dalam ± 3 meter. Lalu ada sungai keci di sebelah timurnya yang dipisahkan oleh tanggul tanah alami (kami menyebutnya benteng) yang tingginya sekitar 3 meter juga. Satu sungai lagi berlokasi di tengah-tengah desa. Ia membelah desa dari ujung perbatasan desa paling selatan hingga ujung perbatasan desa paling utara. Di tengah jalan, sungai itu bercabang ke barat menuju sawah-sawah. Untuk urusan olah raga ada sebuah Lapangan sepak bola di bagian timur desa yang berbatasan dengan sawah. Walaupun tidak selebar Lapangan San Siro milik klub Italia AC MILAN yang penting kami punya lapangan sepak bola. Yaah, daripada tidak punya! Dalam bidang pendidikan di desa ini terdapat 2 sekolah dasar. Satu sekolah dasar Islam Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah (MIM) dan satu lagi Sekolah Dasar Negeri Tunjungsari. Serta 2 Taman Kanak-kanak (TK); TK Bustanul Athfal (Muhammadiyah) dan TK Muslimat (NU). Dalam bidang keagamaan ada 2 Masjid besar; di RW satu atau bagian selatan ada Masjid As Sholihin yang merupakan masjid ormas Muhammadiyah dan di RW 3 atau bagian utara terdapat Masjid ormas Nahdlatul Ulama yang namanya Baitul Muttaqin. Sedangkan Mushollanya ada 15 buah dengan rincian Muhammadiyah memiliki 5 buah, Nahdlatul Ulama (NU) 7 buah dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) 3 buah.

Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah adalah sebuah sekolah swasta Islam yang di sana dulu aku mengenyam ilmu-ilmu dasar membaca, menulis, berhitung, menggambar, bernyanyi, berolah raga dan lain sebagainya. Membaca huruf-huruf alfabhet dari A sampai Z. Menulis huruf besar dan kecil serta huruf Arab baik latin ataupun gandeng yang seperti truk atau kereta api. Yang aku sendiri tidak tahu waktu itu dari mana huruf-huruf itu berasal dan siapa yang membuatnya? Berhitung angka-angka yang susah dari penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian dalam pelajaran Matematika. Belajar menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya ciptaan Mbah Wage Rudolf Soepratman serta lagu Gundul-gundul Pacul versi pop, keroncong sampai Rock. Aku juga belajar menggambar peman-dangan dua gunung dengan jalan setapak di bawahnya diapit sawah di kanan dan di kiri serta di atasnya beterbangan beberapa burung Sruwiti ( burung kecil seperti burung walet yang jika terbang seolah tak pernah mengepakkan sayapnya dan seperti layang-layang putus saja). Gambaran itu teringat, terukir, tertanam dan terpahat jelas di memoriku hingga dewasa. Dan sewaktu aku di suruh menggambar pemandangan pada training MOTIVASI di Jakarta yang ku gambar ya persis seperti itu. Hingga sang Traineer menertawakan peserta yang menggambar pemandangan seperti itu. Bagaimana tidak di tertawakan? Yang namanya pemandangan itu kan tidak hanya pemandangan dua gunung dengan jalan setapak di bawahnya diapit sawah di kanan dan di kiri serta di atasnya beterbangan beberapa burung Sruwiti. Tapi bisa juga pemandangan itu adalah pemandangan malam dengan bulan purnamanya atau pemandangan SUNRISE dan SUNSET-nya yang sangat indah dan mengagumkan, bukan begitu? Atau yang lainnya. Lha ini dari kecil hingga dewasa bisanya gambar pemandangan, itu-itu saja!! Kapan majunya? Di sana, di MIM itu juga aku diajarkan oleh Pak Mawardi guru olah raga asal Magelang yang tinggal di Petukangan, Wiradesa. Beliau senang memberi pelajaran Tenis Meja serta catur pada kami dan juga senam SKJ ( Senam Kesegaran Jasmani ) yang terus berseri seperti sinetron Tersanjung di Indosiar. Selain pelajaran Akademik aku juga diajarkan Ilmu-ilmu Agama Islam dari Sholat dengan syarat dan rukunnya hingga membaca dan menulis Alqur’an. Tak ketinggalan ilmu budi pekerti seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Kemuhammadiyahan. Dan sewaktu di kelas 3 MI kutemui guru laki-laki yang jika mengajar suaranya bak mesin ISUZU PANTHER. Nyaris tak terdengar. Sehingga jika kami murid-murid diajar beliau dan duduk di belakang bersiap-siaplah untuk membuka daun telinga lebar-lebar supaya gelombang suara pak guru yang frekuensinya hanya 200 Hz itu tertangkap di telinga dan masuk ke otak kita. Di kelas ini juga kepalaku pernah berdarah karena dibenturkan temanku ke dinding. Itu terjadi karena kebandelanku sebagai buah naluri kenakanlan anak laki-laki. Waktu itu aku berantem di kelas dengan sahabatku yang badannya lebih besar dari aku. Sehingga tubuhku yang kecil mudah saja baginya untuk dikalahkan. Sedang waktu kelas 4 kami kemah TKA/TPA di Lapangan Api-Api, Wonokerto, Tingkat Kabupaten Pekalongan. Kami mewakili TKA/TPA Al-Himmah, Tunjungsari, Sragi dan waktu itu alhamdulillah kami juara UMUM 2. Aku sendiri alhamdulillah ikut menyumbangkan 2 gelar juara individu, juara 3 Lomba Baca Puisi Islami dan juara 3 Lomba Nasyid bareng saudaraku Saiful.

Aku juga diajarkan bagaimana caranya menghukum murid yang bandel, yang suka berisik dan kalau diperintah ia membantah. Pelajaran yang unik ini aku dapatkan dari Kepala Sekolahku yang usianya telah lanjut. Bahkan Ibuku sendiri katanya pernah diajarnya dulu. Hukuman itu adalah dengan menarik JAMBANG rambut anak yang bandel sehingga si anak menjerit kesakitan dengan keras seperti sedang belajar olah vokal do-re-mi-fa-sol-la-si-do-do-si-la-sol-fa-mi-re-do.

Di desa ini yang setiap hari jumat khususnya RT 06/01, ketua RT membunyikan TING (tiang listrik) dengan cara dipukul menggunakan batu untuk memanggil warganya supaya kerja bakti membersihkan jalanan dari rumput dan tanaman yang ranting-rantingnya menggangu jalanan dan menghambat aliran air di kalenan (saluran air). Dari anak kecil, remaja putra dan putri, ibu-ibu hingga bapak-bapak semua turun dan keluar dari rumahnya untuk ikut serta dalam kerja bakti. Yang bapak-bapak dan remaja putra membabat rumput dan ranting-ranting pohon. Yang ibu-ibu dan remaja putri menyapu sampah dan membakarnya serta ada yang menyiapkan minuman dan makanan. Sedang anak-anak ikut nimbrung membersihkan tapi kebanyakan hanya ikut bersenang-senang dan bermain karena kerja bakti memanglah ramai. Semua warga begitu guyub dan rukun. Tak nampak bermusuhan. Walaupun kadang terjadi sedikit gesekan antar mereka namun hari itu adalah hari di mana setiap individu saling bahu membahu untuk menghasilkan lingkungan yang bersih dan asri. Dari jalan utama hingga jalan arteri yang menghubungkan antara gang yang satu dengan gang yang lain semua di bersihkan dan di rapihkan.

Setiap sebulan sekali, kami juga memandikan Musholla An Nurul Jannah. Satu-satunya musholla di Rt 06/01 desa Tunjungsari. Mengepel, menguras bak air selebar 3 meter x 1 meter, mencuci kambal/karpet musholla dan menjemurnya hingga kering dan membersihkan sawang/sarang laba-laba. Kami juga memperbaiki sasak/jembatan yang terbuat dari anyaman bambu ketika sasak tersebut mulai tercerai-berai.

Hari masih terang. Matahari juga belum memperlihatkan tanda-tanda akan terbenam. Tapi kambing-kambingku lari-lari. Ternyata ia terusik dan ketakutan dengan kedatangan kakakku yang lari menuju ke tempat di mana kambing-kambingku kugembalakan.

Auu…..au…..au….., sikilku loro,” jeritku merintih.

Kenopo Ibnu?” tanya kakakku.

Sikilku kejiret tali sing nggo naléni wedus iki lo mas!” jawabku singkat.

Yo wis kowé muléh rono kon simak kowé kon mangan sék, karo sekalian di obati, lha wedusé genténan aku sing angon!” kata kakakku yang ke 6 menjelaskan maksud kedatangannya.

Iyo kang aku arep muléh, tapi sikilku loro nggo mlaku angél!

Alah loro semono bé, cah lanang loro koyo kuwi nggo tombo otot. Ra popo-ra popo!” kakakku mengejekku.

Dan bekas tali itupun hingga kini masih membekas di pergelangan kaki kananku.

Pedal 2

Roumpet, Patahan, dkk

Dan di desa Tunjungsari inilah masa kecilku kuhabiskan.   Sehingga di sana tercipta berbagai kenangan indah masa kecilku penuh kelucuan, cerita suka, dan cerita duka. Cerita permainan roumpet ( petak umpet ) di malam harinya saat bulan sedang purnama adalah hal yang menyenangkan. Jika roumpet, kami biasanya bersembunyi di tempat-tempat yang gelap kalau perlu kami ngumpet di hutan desa sehingga yang jaga tak bisa menemukan kami. Yang paling menyenangkan jika kita tak pernah jaga. Biasanya ada anak yang jaga terus. Tak pelak akhirnya ia mengambek dan pulang sambil menangis karena di sorakin sama teman-teman, ”PANGGANG LAMPIRAK IWAK JUWI ENAKO TRASI BAKARAN BOCAH DADI NAKALAN”. Ada lagi cerita memancing ikan dan belut serta udang di sungai bareng teman-teman lelakiku. Yang sebelum memancing kami mencari elur (cacing) di sawah untuk umpan ikan, mencari yuyu ( kepiting sawah ) untuk umpan udang dan mencari bancet ( katak kecil ) untuk umpan belut.

Terus cerita memanjat pohon salam setinggi 14 meter untuk memetik buahnya yang kecil-kecil dengan 3 warna; merah, hijau dan hitam di pinggir sungai Besar. Yang merah adalah buah salam yang sudah mateng untuk kami makan, yang hijau adalah buah salam yang masih mentah untuk kami gunakan sebagai peluru pistol-pistolan kami yang terbuat dari bambu untuk bermain bedil-bedilan (tembak-tembakan) sedangkan yang hitam merupakan salam yang rasanya seperti anggur, manis banget. Dan jika kami memakannya bibir kami, gigi kami, dan gusi kami akan berubah, berubah warnanya menjadi hitam dan hitam persis seperti nenek-nenek di desa kami yang suka memakan kinang / menginang (mengunyah daun sirih). Katanya sih untuk menguatkan giginya.  Dan kami sering mandi di sana, di sungai besar itu sehabis lari pagi setiap hari minggu ke rel kereta api bareng konco-konco (teman-teman). Berlomba renang menyeberangi sungai selebar 25 meter itu. Ataupun berlomba menyelam siapa yang paling lama dapat bertahan diam di dalam air tanpa bernapas. Atau bermain polo air dengan bola plastik. Sungai besar ini yang setiap tanggal 1 Oktober airnya berlimpah karena dikirimi air dari pintu air irigasi Bukur, daerah Kajen. Katanya sih untuk memperingati peristiwa bersejarah yang setiap tanggal 30 September kami wajib nonton filmnya, G30S/PKI. Entah apa hubungannya antara peristiwa G30S/PKI dengan dikiriminya sungai besar kami sehingga ikan-ikan yang se-dang berenang minggir dengan suka rela minta ditangkap oleh kami. Seperti penjahat yang taubat lalu menyerahkan diri ke pihak berwajib. Apa dikira ikan-ikan itu dianggap 7 jenderal yang diculik lalu dimasukkan ke Lubang buaya. Dan kami adalah buayanya, begitu, enak aja. Tapi dengan adanya peristiwa G30S/PKI kami bersedih dan bersyukur. Bersedih karena kami kehilangan tokoh-tokoh yang tak bersalah diculik dan dibunuh oleh pasukan palu arit itu. Bersyukur karena paling tidak setiap tahun kami akan panen ikan yang menyerahkan diri akibat kiriman air itu.

Tak luput dari ukiran di ingatan cerita berikutnya adalah gobak sodor. Kami memainkannya tatkala hari mulai menampakkan sinar jingganya. Bermandikan sinar itu sepulang kami dari mengaji di TPA Al Himmah kami asyik menggaris kotak persegi panjang di tanah lapang yang merupakan halaman rumah Wo Lehan. Dua kelompok dibagi dengan seimbang dan adil setelah sebelumnya kami usut (suwit) antar teman yang sebaya. Yang kecil layakan (suwitan) sama yang kecil yang besar layakan sama yang besar. Hingga jika adzan maghrib dikumandangkan Lek Rali barulah kami berhamburan ke Musholla.

Cerita main bal-balan (sepak bola) di bawah guyuran hujan dan petir sambil slarakan (seluncur di tanah licin) menambah indahnya catatan dalam buku diary. Sepak bola dengan bola plastik itu kami lakukan di tanah lapang dengan puluhan pohon kelapa yang berbaris rapi di pinggir dan di tengahnya milik Lek Bakir.

Borem menjadi kisah selanjutnya. Permainan ini juga di mainkan oleh dua group. Sebuah group bisa terdiri dari 6-10 orang. Bisa kurang bisa lebih. Permainan ini sebenarnya sama dengan sepak bola. Tujuannya yaitu menjebol gawang lawan. Dalam urusan menjebol gawang posisi badan sang penjebol harus dari depan tidak boleh dari belakang. Karena itu dianggap tidak sah. Namun di sini tak ada bola plastik dan gawangnya pun hanya terbuat dari tepes/kulit kelapa yang ditumpuk dengan sandal para anak desa. Yang dimaksud menjebol adalah salah satu anggota kita masuk ke gawang lawan tanpa di sentuh pihak lawan. Pada babak awal, group 1 harus mengorbankan 1 personilnya untuk dikejar lalu di tangkap atau hanya disentuh dan dipegang seorang perwakilan group 2. Jika perwakilan group 1 sudah pulang tanpa bisa disentuh/dipegang perwakilan group 2, maka gantian group 2 mengorbankan salah seorang perwakilannya yang lain untuk dikejar dan ditangkap perwakilan anggota group 1. Seandainya tertangkap, maka ia menjadi sandera group 1. Sehingga penjaga gawang/ rumah group 2 yang lebarnya hanya 2 langkah kaki orang dewasa itu otomatis berkurang. Dan itu akan mengurangi kekuatan dari group 2 dan menambah kekuatan bagi group 1 untuk menjebol gawang group 2. Untuk menyelamatkan sandera, para anggota group 2 silih berganti menyusup dari depan, belakang, samping kanan maupun samping kiri. Cara penyelamatannya adalah sang penyelamat menyentuh bagian tubuh mana saja si sandera. Sang sandera ketika disentuh temannya harus lari dan melepaskan diri dari gawang yang ia tempel untuk menyelamatkan diri dari sentuhan lawan yang menyanderanya. Karena jika ia lari setelah disentuh temannya tapi ia sebelumnya tak menempel ke gawang maka ia belum bisa dianggap selamat dan harus kembali menjadi sandera hingga ia diselamatkan kembali oleh temannya. Kemudian jika yang kejar-mengejar sudah pulang gantian anggota group satu yang berikutnya untuk dikejar anggota group 2 juga yang lain dan seterusnya hingga semua anggota group 1 dan group 2 pernah merasakan kejar-kejaran. Atau tanpa menunggu yang kejar-kejaran pulang ke gawang, perwakilan group 2 bisa langsung mengejar perwakilan group 1 yang tadi hendak menangkap temannya. Apabila salah satu anggota group 1 mampu menerobos gawang /rumah group 2 maka group 1-lah pemenangnya atau sebaliknya group 2 mampu menerobos gawang /rumah group 1 maka group 2-lah pemenangnya. Dan permainan pun diulanng dari awal dengan sebuah kebanggaan sebagai hadiah bagi sang pemenang.

Tak lupa juga dengan cerita mencari kroco (siput sawah yang bokongnya lancip) dan kiong (siput sawah dengan bokong tumpul) di sawah di sore hari kala musim panen telah usai. Jika kroco dan kiong sudah terkumpul kami memasaknya dan memakannya dengan biting/potongan lidi sebagai alat pencungkil daging dari rumahnya. Juga mencari jangkrik yang memerlukan perjalanan agak jauh karena harus ke desa tetangga. Selain itu juga pencarian tebu sisa yang sedang dipanen Pabrik tebu Sragi yang juga harus pergi ke desa tatangga yang juga jauh jaraknya.

Cerita selanjutnya adalah bermain panggalan (gasing) yang terbuat dari batang pohon kemuning yang tua biar keras dan kalau diadu tidak mudah lecet dan bonyok jika kena jalu gasing lawan yang terbuat dari paku yang ditancapkan dibokong gasing. Gasing tersebut sendiri kami putar dengan tali yang terbuat dari kulit batang pohon pisang yang diplintir-plintir.

Aku juga akan teringat dengan masa kecil dulu dengan per-mainan Patahan (dalam istilah Jakarta deprok) tapi aku lebih cocok dengan istilah englek. Karena permainan ini kita harus berdiri dengan satu kaki lalu melompat-lompat dengan satu kaki juga melewati ko-takan-kotakan yang digaris/digambar di atas tanah. Jenisnya ada be-berapa macam: Patahan slorok (deprok laci; di dalam patahan slorok kita disuruh menabung nominal. Lalu setelah tabungan kita terkum-pul sejumlah 10.000 kita akan mendapatkan sebidang tanah yang da-pat kita gunakan untuk mendeprok dengan 2 kaki atau untuk istirahat setelah capek melompat-lompat seperti kelinci dengan satu kaki me-lewati 4 kotak. Cara permainannya kita harus mendorong patah (pe-cahan genting) dengan kaki satu menuju angka-angka yang telah ter-sedia dari angka terkecil 100 yang mudah kita dapat karena letaknya ditengah dengan porsi kotak terbesar hingga angka 10.000 yang sulit kita raih karena tempatnya diujung dengan porsi kotak terkecil).

Selanjutnnya ada patahan uwong (deprok orang; di dalam patahan ini gambarnya bukan kotak-kotak lagi tetapi seorang manusia berjenis perempuan berpakaian rok yang merentangkan tangannya yang pan-jang dengan kepala besarnya yang tiduran terus menerus tanpa mengeluh capek dan sakit walaupun diinjak-injak tanpa ampun beberapa jam oleh anak-anak kecil macam aku yang sedang menikmati masa-masa kecil penuh bahagia walaupun tanpa PS (Playstation) ataupun peralatan game seperti mobil/pesawat radio kontrol.

Jenis patahan berikutnya adalah patahan mlaku (berjalan). Patahan ini tidak me-ngenal istilah berjengklek ria (melompat-lompat dengan satu kaki). Tapi dilakukan dengan berjalan. Tapi untuk mendapatkan sebuah tempat deprok (berdiri dengan 2 kaki aku harus melewati tahap-tahap yang melelahkan. Dari berjalan membawa patah (potongan genting) sambil ditaruh telapak tangan terbuka yang merentang, lalu berjalan membawa patah ditaruh dipunggung telapak tangan yang juga di-rentangkan, kemudian berjalan dengan menaruh patah diatas tangan yang dibentuk seperti gelas dan patah dianggap seperti tutupnya de-ngan tangan ditekuk di depan dada, tahap berikutnya sama seperti ta-hap sebelumnya tapi sekarang tangan merentang, terus tahap mem-bawa patah ditaruh di atas pundak kanan setelah itu pundak kiri ke-mudian tahap patah ditaruh di atas kepala sehingga pandangan kita terus ke depan tanpa melihat gambar permainan dan kalau kita meng-injak garis maka giliran lawan yang akan jalan. Tahap yang bisa di-anggap semifinal permainan sebelum kita mendapat jatah lahan de-prok adalah tahap membawa patah yang ditaruh diatas punggung kaki kanan kemudian gantian yang kiri lalu kita berjalan sambil membawa patah tersebut sehingga kita akan berjalan seperti korban patah tulang kaki yang jalan terpincang-terpincang tak karuan. Tahap selanjutnya berjalan tanpa membawa patah tapi mata kita dalam keadaan tertutup dan kita akan menebak-nebak gambar di tanah supaya tidak keinjak, persis seperti bapak buta yang mau me-nyeberang di jalan raya yang kesulitan tanpa dibantu pemuda normal yang melihatnya tapi enggan membantunya. Itulah tahap terakhir dari patahan mlaku yang gambar permainannya seperti gambaar salip yang terbentuk dari kotak-kotak persegi dengan jumlah semau kita, kadang sebelas kadang cuma delapan.

Ada lagi patahan payung. Jenis patahan ini dimainkan diatas lingkaran yang dibagi menjadi 16 bagian busur lingkaran. Ukurannya dibuat sama antara bagian yang satu dengan bagian yang lain. Pada bagian bawah lingkaran terdapat kotak-kotak persegi yang dibentuk melengkung seperti gagang payung. Peraturan permainan ini adalah kita harus mengitari busur-busur lingkaran tadi dengan melompat-lompat bergantian antara kaki kanan dan kaki kiri. Lompatan kaki kita bergaya seperti kora-kora di Dufan yang sedang beraksi. Jika kaki kanan diangkat kebelakang maka kaki kiri akan mundur ke belakang menggantikan posisi kaki kanan. Dan jika kaki kanan hendak turun maka kaki kiri maju ke busur bagian depannya. Terus hingga semua busur selesai dikitari. Jika patah menempati busur maka bersiap-siaplah untuk membuka kaki lebih lebar dan itu akan menguntungkan bagi yang berkaki panjang. Karena kalau kaki kita pendek kita bisa menginjak garis yang berarti kita akan kalah.

Aku juga mengingat kenangan belajar sambil planggrokan (bertengger) di atas pohon jambu klutuk (jambu biji) sepulang se-kolah sehingga jika aku lapar tinggal ngkrikiti ( memakan sedikit de-mi sedikit) jambu tadi. Kenangan belajar itu lebih mengena karena yang kupelajari adalah pelajaran IPS guna persiapan menghadapi ujian nasional. Alhamdulillahnya pas lulus aku menjadi juara kelas mengalahkan pesaingku yang perempuan. Atau juga kenangan tak terlupakan yang lain yaitu permainan kasti. Ada juga game seru yang sekarang sudah jarang dimainkan anak-anak di desaku yaitu game sekéténg ( game menyerang lawan dan mengghindar dari serangan lawan. Game ini hanya boleh dilakukan dengan 1 tangan, kalau kanan ya kanan saja dan kalau kiri ya kiri saja tidak boleh dua-duanya alias tidak boleh dengan tangan kanan-kiri. Baik dalam bertahan ataupun menyerang. Kalau menghindar boleh, mau lari sejauh-jauhnya terus tidak kembali juga boleh asal nanti kalau ibumu bertanya mencarimu kawan jangan salahkan kami. Daerah ditubuh yang diincar adalah kepala dan kaki, kalau musuh sudah kena kepala atau kakinya maka dianggap kalah, biasanya kami bermain dalam 2 kelompok yang anggotanya tak terbatas dan dalam satu kelompok kami harus saling melindungi dari serangan lawan. Jika sudah kalah salah satu kelompok maka permainan akan diulangi dari awal dan hadiah bagi yang menang adalah sebuah kebanggaan diakui kehebatannya. Cerita lucu di sini adalah jika ada anak yang besar menyerang yang kecil. Dijamin 98 % yang kecil kalah, yang besar akan menang kecuali 2 sebab yang dapat membuat si besar kalah adalah yang besar jatuh atau diserang dari belakang. Karena di sini strategi juga menentukan kawan.

Pedal 3

Sayur Lodeh

Ayam jantan berkokok diikuti gema adzan subuh dari masjid As Sholihin yang dikumandangkan oleh Lek Rali. Suara kokok ayam dan adzan itu membangunkan kami dari mimpi indah. Udara dingin menyambutku setelah ayahku membangunkanku dengan membelaiku penuh kasih dan sayang. Ia sendiri telah bangun terlebih dahulu bareng ibuku. Mungkin sebelum subuh keduanya mendirikan sholat tahajjud. Hampir setiap hari ia tak pernah lupa mengingatkanku untuk diajak sholat shubuh berjamaah di musholla samping rumahku. Dan ia akan membangukanku jika aku belum terbangun, namun kadang aku juga lebih dulu bangunnya dari mereka jika aku sedang rajin.

Kring..kring..kring..kring..suara bel sepeda jengki Lek Khaliri membelah pagi desa kecil Tunjungsari. Jika Sang penjual tempe itu sudah berangkat membawa keranjangnya yang berisi tempe menandakan jam dinding telah menunjukan pukul 05.30 wib.

Ibnu, mono tuku tempe Rp 1000,-,” pinta ibuku

Endi duwite, Mak!” jawabku

Kiye, bar kuwi tuku sego nggon Wo Wahayu 3 bungkus yo!

Inggih, Mak!

Ku berjalan menemui Lek Khaliri. Sekotak tempe berukuran 10 x 20 cm diserahkan Lek Khaliri padaku.

Matur nuwun, Lek! niki artone.

Podo-podo, Ibnu!

Aku adalah bontot dari 8 bersaudara. Sebenarnya kalau mau ibu akan menyuruh kakakku yang membeli nasi tapi ibu ingin mnegajari aku untuk tidak menjadi anak yang manja.

Dengan berjalan kaki aku menuju warung Wo Wahayu. Jaraknya memang tak seberapa dengan rumah ibuku ± 400 m. Dalam sekejap mata berkedip pun aku mungkin sudah sampai ke sana jika aku berlari. Warung nasi yang buka tiap pagi itu menyediakan sarapan berupa nasi megono, bubur, sayur lodeh, teh manis dan krupuk sebagai lalapan. Tidak hanya aku dari kauman kulon yang jadi pelanggannya, tapi hampir dari penjuru desa. Walaupun tidak semuanya he..he..he..he..he..

Nasi tersebut bisa dibungkus untuk dibawa pulang dan dimakan di rumah atau mau dimakan di warung juga bisa. Kalau dibungkus Wo Wahayu menyediakan godong gedang (daun pisang) sebagai pembungkusnya. Sedangkan apabila ingin makan di sana, Wo wahayu menyediakan piring beling (piring kaca).

Warungnya berada di depan rumahnya menghadap ke selatan. Dengan ukuran ruangan 4 x 4 m warung tesebut mampu menampung 1 meja besar tempat Wo Wahayu menaruh barang-barang logistik. Terus 2 tempat duduk/kursi berukuran besar dan panjang yang terbuat dari kayu jati berukir di senderannya menempati sebelah timur dan selatan meja itu. Jendelanya berbentuk lempengan kayu yang bisa dilepas dan dipasang. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Sederhana tapi bersih dan rapi. Namanya juga Wo Wahayu. Kalau boleh diartitkan Wahayu = Wah + Ayu (cakep). Jadi kalau warungnya tidak rapi nama pemiliknya bisa diganti dengan Wahelek = Wah + Elek (jelek). Tapi aku tak tahu, kenapa beliau diberi nama Wahayu. Wallahu a’lam bi shawab.

Aku datang ke sana kurang lebih pukul 05.45 wib. Nasi belum diangkat dari tungkunya. Megono pun baru selesai dijunjung dari dandang. Sayur lodeh telah tersaji di baskom seng. Aku memang pelanggan yang datang paling awal. Berberapa orangn dewasa datang menyusul di belakangku. Wo Wahayu datang dari dapur sambil mengusap rambutnya dengan tangan kanan. Mungkin ingin terlihat rapi bagi pelanggannya. Rambut putih telah menghiasi sebagian komunitas rambut di kepalanya. Rambut tak berkerudung itu di ikat dengan rambut itu sendiri. Kami orang desa menyebutnya digelung untuk model rambut yang hanya digandrungi kaum hawa tua. Ia mulai melayani pembeli dengan bertanya penuh ramah.

Kowe opo Leh?” tanyanya padaku.

Sekul megono kaleh mboten ngagem jangan, sing setunggal sekul megono ngagem jangan, Wo!

Wo, aku ndisik yo. Soale anakku arep mangkat sekolah adoh!” kata perempuan bernama Rahmah beralasan.

Aku podo wae Wo njaluk ndisik, bojoku arep mangkat kerjo!” kata perempuan satunya.

“Piro Mbak Rahmah?”

“5 bungkus, 3 megono ora nganggo lodeh, sing siji nganggo lha sing siji bubur kanggo anak cilikku!”

Wo Wahayu membungkuskan nasi megono untuk Mbak Rahmah. Ia meninggalkan pelanggan pertamanya, aku. Satu pelanggan mendahuluiku.

“Matur nuwun, Wo. Niki Rp 2.500,-!“ ia menyerahkan uang pada Wo Wahayu.

“Njenengan nopo, Bu?” tanya Wo Wahayu pada wanita bersuamikan orang kantoran itu.

“Telung bungkus sego megono nganggo lodeh Wo. Sing siji dipepes yo Wo karo kei tempe. Siji bae tempene!”

Dengan cepat dan tangkas Wo Wahayu membungkus satu persatu nasi megono.

“Iki wo duwite Rp 1.750,-“

Pelanggan berikutnya datang. Seorang perempuan tua. Usianya kurang lebih 65 tahun. Ia juga minta didahulukan. Aku mengalah. Tak mungin aku berkeas diri. Di mana budi pekertiku. Ia datang dengan beberapa orang.

“Wo, njenengan pinten bungkus?” tanya Wo Wahayu pada perempuan tua bernama Siti itu. Ia memanggil Wo Siti dengan “Wo” karena Wo Wahayu lebih muda dari Wo Siti.

“Sak bungkus wae, Yu!”

Berikutnya bapak-bapak datang ingin sarapan di situ sebelum berangkat ke sawah. Wo Wahayu pun mendahulukan mereka. Kesabaranku menunggu dan mengalah mulai terusik karena jam telah menunjukan pukul 06.25 wib.

“Wo aku ra Wo. Moso, aku tekone paling ndisik ko didodoline terakhir!!” aku protes.

“Ngko ndisik Leh yo!”

Pelanggan berikutnya datang silih berganti minta didahulukan hingga Wo Wahayu melupakan aku. Aku sudah kehabisan kesabaran. Apalagi jam telah berdentang dengan jarum panjang telah berada di atas angka 9 dan jarum pendek berada di atas angka antara 6 dan tujuh. Itu artinya sebentar lagi pukul 7 pagi. Waktu di mana aku harus bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Aku belum mandi apalagi sarapan. Hati dongkol & darah panas mengalir di sekujur badan. Dengan wajah merah menahan tangis serta mata yang mulai berair aku meninggalkan warung sambil memukul pintu warung.

Dalam hati aku bernyanyi lagu sedih. Umpatan dan cacian bertubi-tubi keluar dari mulut mungilku.

“Asem, dl@3876….!!!!! Kurang Ajar @#$@*%(!!)Astaghfirullah.!!”

Kadang memang orang tua itu terlau egois. Mereka tidak memperhatikan perasaan anak kecil macam aku. Bagaimana mungkin aku yang datang paling awal harus pulang tanpa menenteng sebungkuspun nasi megono. Walaupun anak kecil tak seharusnya mereka mengkerdilkannya. Inikah teladan orang tua bagi anak kecil seperti aku. Jika aku mau aku bisa mengobrak-abrik dagangan Wo Wahayu. Tapi dalam diriku telah tertanam sifat kesabaran ibuku yang tak mungkin luntur begitu saja oleh sebungkus nasi megono. Aku tak habis berpikir bagaimana orang tua yang kata orang telah memakan bangku sekolah dan banyak garam masih begitu rendah rasa menghargainya meskipun terhadap anak-anak. Kalau terhadap anak kecil saja seperti itu bagaimana terhadap orang tua. Dari Ibu istri kantoran, nenek-nenek hingga bapak-bapak. Walaupun anak kecil, sepatutnya orang yang lebih dewasa menghargainya. Budaya antri memang belum tertanam dalam jiwa rakyat desaku. Semoga Allah mencurahkan rahmat pada mereka sehingga dikemudian hari mereka akan lebih menghargai dan memahami perasaan anak kecil sehingga di Negara ini lahir para pemimpin berakhlak mulia karena tauladan yang mulia pula.

Pedal 4

MOS

Wahyu, Dofa, Ahmad dan aku serta Basyir bersepeda bersama. Semuanya mengendarai sepeda mini biru merek Phoenix. Pagi pukul 08.00 wib, matahari telah meninggi sepanjang tombak tentara dari garis cakrawala. Jalan Tunjungsari-Kadipaten sepi. Hanya kami berlima pemakai jalan ini. Jalan selebar 2 meter ini belum beraspal hanya tanah coklat keras yang menutupinya. Jika hujan turun di musim penghujan maka kami harus bersiap-siap untuk jatuh karena begitu licinnya. Sedang ban sepeda kami tak mengenal tipe basah dan tipe kering seperti ban Bridgestone ala motoGP. Jalan ini adalah salah satu jalan penghubung bagi desa kami jika hendak ke kota. Lokasinya berada di bagian selatan desa. Di pinggir jalan sebelah selatannya terdapat sungai irigasi selebar ± 3 meter dengan kedalaman 2 meter. Jika musim kemarau tiba, bisa dipastikan air di sungai itu habis dan bagian dasar sungai akan nampak kering kerontang. Karena sungai tersebut  termasuk sungai tadah hujan. Sedangkan sebelah utaranya puluhan hektar sawah membentang. Jika sedang musim tanam sawah tersebut akan terlihat seperti lembaran karpet hijau yang amat sejuk dan sedap jika dipandang oleh indra penglihatan kita.

Kami hendak mendaftar di SMP N 3 Wiradesa guna melanjutkan pendidikan setelah lulus dari MIM Muhammadiyah. Jarak gedung SMP tersebut sekitar 5 km dari desa kami sehingga kami mampu menempuhnya dengan hanya bersepeda. Selain itu memang belum ada angkot dari desa kami menuju ke sana. Pendaftaran akan ditutup pada pukul 12.00 wib.

Besoknya, kami melihat pengumuman. Apakah kami diterima atau tidak? Anak laki-laki dan perempuan SD/MI riuh rendah saling berteriak dan dorong-mendorong. Kulihat namaku tertera di papan pengumuman.

“Hey, konco-konco aku ditompo. Alhamdulillah! Kowe piye, Wah?”

“Alhamdulillah aku podo bae ditompo. Tapi neng kelas 1B.”

“Aku podo bae ditompo neng 1B!” kata Ahmad.

“Nek aku neng 1A, bareng kowe Ibnu!”kata Dofa.

“Syir, kowe ditompo pora?”

“Alhamdulillah aku ditompo, tapi aku misah dewe neng 1D!”

“Ra po-po, tinimbang ora ditompo, iyo kan?”

Bagiku masuk kelas 1A adalah sebuah kebangggaan. Karena di sana berkumpul para pemilik DANEM (Daftar Nilai Ebtanas Murni) tinggi-tinggi.

Sepatu hitam merek Reebok kukenakan di kaki kanan dan kaki kiriku. Kaos kaki putih polos melapisi kaki mungilku sebelum Reebok menutupnya. Kain bendera Indonesia terbalik membungkus badan kerempeng yang telah terisi nasi megono. Putih di atas sebagai baju dan merah sebagai celana. Seragam MI yang dulu dipakai setiap hari senin dan selasa ini wajib kami pakai  selama acara resmi yang berjudul MOS (Masa Orientasi Sekolah). Masa orientasi ini akan berlangsung selama 3 hari. Sebelum periodeku masuk SMP namanya bukan MOS melainkan PENATARAN P4. MOS adalah acara yang dimaksudkan untuk memperkenalkan sekolah kepada kami. Baik memperkenalkan gedung-gedungnya yang selalu membisu kepada kami ataupun sistem pengajaran yang akan kami hadapi dan gunakan serta guru-guru dan lingkungan yang akan kita injak setiap hari senin hingga jumat selama 3 tahun. Selain itu MOS dimaksudkan untuk lebih mengakrabkan antar siswa baru yang berasal dari SD dan MI serta desa yang berbeda. Di acara MOS kami juga diajak bermain dari yang keras dan menakutkan hingga yang lemah lembut penuh kelucuan serta sedikit menggelitik.

Di SMP, MOS tidak diadakan seperti di tingkat SMA. Kalau di SMA kadang-kadang siswa baru disuruh ini dan itu. Seperti disuruh menggunakan pita dari tali rafia berwarna-warni bagi yang perempuan serta menggunakan topi kerucut dari kertas karton bagi yang laki-laki. Ataupun disuruh menggunkan sepatu yang berbeda warna. Tapi kalau di SMP kami benar-benar dididik untuk mengenal apa itu sekolah menengah pertama, bagaimana tantangan dan kendala serta persiapan apa yang harus dilakukan ketika kami berada di sana. Kami juga diajarkan bagaimana tata krama terhadap teman dan guru. Semua materi itu tertuang dalam materi yang kakak pembina bilang WAWASAN WIYATA MANDALA.

Upacara apel pagi sebelum MOS di mulai.

“Semuanya siaap..krek!”

“Kepada Sang Merah Putih Hormaaaat…krek!!” Serentak tangan kanan kami terangkat menuju pelipis kanan. Sebuah kain berwarna merah dan putih berkibar di angkasa. Rasa haru dan merinding menggelayut sekujur badan merasakan perjuangan para pahlawan dahulu yang merebut kemerdekaaan dari tangan keparat Belanda. Mereka rela mengorbankan apapun yang dimilikinya demi mem-pertahankan sebuah harga diri bangsa yang diinjak-injak. Bahkan harta terakhir mereka yang tidak dapat diganti dengan apapun juga dikorbankan yaitu nyawa mereka. Dalam benak mereka tertanam kata-kata pengobar semangat penuh makna : LEBIH BAIK BERPUTIH TULANG DARIPADA BERPUTIH MATA dan bagi yang muslim lebih bersemangat lagi dengan kata-kata : HIDUP MULIA ATAU MATI SYAHID. Nyawa merekapun akhirnya melayang dengan status syahid dengan surga penuh bidadari telah menunggu di akhirat sana.

Upacara telah selesai tapi kami tak boleh masuk ke ruangan. Ternyata, kakak-kakak pembina ingin memberikan kami pendidikan latihan baris berbaris seperti tentara. Dari posisi siap, lencang kanan, lencang kiri, jalan di tempat, hadap kanan, hadap kiri, belok kanan, belok kiri, berhitung, hormat kepada bendera merah putih, istirahat di tempat, hingga langkah tegap yang membuat kaki cepat capek karena kaki harus dihentakan dengan kuat. Waktu kami berhitung banyak yang salah. Temanku si Amat waktu berhitung salah satunya. Ceritanya begini. Dia berdiri di barisan depan dan nomor dua dari kanan. Sewaktu kami disuruh berhitung oleh kakak pembina ia harusnya mengucapkan dua tapi tak disangka yang keluar lain.

“Semuanya siaap..krek!”

“Berhitung….! Mulai!!!” aba-aba dari kakak pembina laki-laki.

“Satu…,”suara temanku nomor satu.

“………………………………………………” semuanya diam tak ada yang bersuara termasuk aku.

“Mat!!!”teriak temanku satunya yang berada di belakangnya.

“Ada apa?” jawab Amat.

“Giliran kamu berhitung!!”

“Oh ya, S-Y-A-T-U!” teriaknya memecah keheningan suasana. Sontak semua peserta MOS tertawa cekikikan.

“Di…..aaaaammmmmmm, semuanya diiiiiaaaammmm!!!!!!!” kakak pembina berteriak kencang bak serigala melolong di malam jumat kliwon.

Secara otomatis anak-anak diam karena takut.

“Ulangi ya..siapa kamu namanya dik?”

“Amat, Kak!” kata temanku yang tadi menegur.

“Jangan melamun ya, nanti kakak suruh push up lho!”

“Iya kak!”

“Berhitung mulai..!”

“Satu..dua..tiga..empat..lima..enam..tujuh..delapan…9..10..11..12..13..14..15..16!!”

Semua siswa baru memang berjumlah 160 yang terbagi dalam 4 kelas dari A, B, C, dan D serta tiap 1 baris berbanjar 10 anak.

Sewaktu jalan di tempat suara hentakan sepatu begitu keras. Kaki kami harus diangkat setinggi-tingginya.

“Ayo diangkat setinggi rata-rata air!!”

“Kak tidak ada air di sini!” cerocos temanku yang bocor.

“Maksudnya angkat kaki setinggi ini!” kakak pembina dari OSIS itu mempraktekan dengan mengangkat kakik kanannya membentuk sudut 900 dengan betisnya. Sedangkan kaki kirinya berpijak di bumi berdiri lurus.

Sedangkan untuk latihan penghormatan lain lagi ceritanya.

“Ayo siku kalian membentuk sudut 450!” Begitulah komando kakak pembina. Sebab kalau sudutnya 900 seperti ganmbar polisi lalu lintas di belakang gambaran punyaku dulu waktu aku masih kecil yang menandakn itu urutan 30. Dan kalau sudutnya 1800 itu namanya lencang kanan bos!

“Semuanya siaap..krek!”

“Posisi siap itu tangan mengepal seperti waktu kita memeras santan kelapa. Diletakkan menempel di paha. Pandangan lurus ke depan jangan tengak-tengok kanan dan kiri. Seperti mau manyeberang jalan raya saja. Kaki kanan dan kiri dirapatkan membentuk huruf V!” Kakak pembina mengingatkan peserta MOS yang masih kikuk dan tegang sehingga lagi-lagi salah.

Hatiku mulai dongkol. Dongkol kenapa? Karena matahari mulai mencurahkan semua sinarnya yang terik. Tapi kakak pembina belum juga kelar memberikan materi PBB (Pelatihan Baris Berbaris) ala tentara ini. Ranah pikiranku mulai berdendang.

“Emang kakak bisa apa memeras santan? Yang benar itu memeras parutan kelapa untuk menghasilkan santan, Kak!”

“Tangan menempel di paha? Biar lengket sekalian kasih lem ALTECO saja!”

“Pandangan ke depan? Ya iyalah ke depan, kalau ke bawah namanya orang lagi mencari uang recehannya yang hilang!!”

“Kaki dirapatkan? Hal kecil menempelkan kaki saja harus pakai rapat segala, sekalian saja votting unutuk menentukan siapa yang setuju dan siapa yang tidak setuju mengenai kaki membentuk huruf V atau pingin ganti dengan huruf  yang lain seperti huruf L, X, A atawa C. Begitu kan lebih demokratis, ya kan?

“Tepuk Pramuka…!!!!”

“Prok..prok..prok..Prok..prok..prok..Prok..prok..prok..Prok..prok…….prok….prok..!!

Hari jumat jam 16.00 wib adalah ekstrakulikuler pramuka. Pramuka singkatan dari Praja Muda Karana. Kesatuan yang muncul dari ide orisinil Kakek Jhon Hendry Dunant ini selalu mengenakan pakaian cokelat-cokelat. Pakaian atas cokelat muda dan celananya cokelat tua. Dengan tambahan berupa gambar tunas kelapa di saku kanan dan di baret juga ada. Dasi merah putih dilipat-lipat bak ular tali wongso yang bermutasi dari sebelumnya warna kuning dan hitam. Serta berpindah dan bermigrasi habitatnya dari sebelumnya di hutan kini selalu nyangkut melingkar di leher para pasukan bertongkat itu. Kami akan tampak gagah sekali jika sudah mengenakan semua aksesori dan embel-embel yang berbau PRAMUKA. Tali temali selalu menggantung di ikat pinggang hitam kami. Ikat pinggang harus hitam tidak boleh putih. Dan selalu hitam tidak pernah naik tingkat ke sabuk merah. Kami naik tingkatnya dari Siaga mula ke siaga bantu lalu ke siaga tata. Di tingkat berikutnya adalah Penggalang ramu, rakit dan terap terus ke Penegak bantara dan laksana dan terakhir Pandega. Setiap anggota pramuka seperti kami wajib menghafalkan 2 puisi yang disebut TRISATYA dan DASADHARMA PRAMUKA.

TRI SATYA

Demi kehormatanku aku berjanji akan bersungguh-sungguh

-Menjalankan kewajibanku terhadap Tuhan dan Negara Kesatuan Republik Indonmesia dan menjalankan Pancasila.

-Menolong sesama hidup dan mempersiapkan diri membangun masyarakat.

-Menepati dasa dharma.

DASA DHARMA PRAMUKA

Pramuka itu:

  1. Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
  2. Cinta alam dan kasih sayang sesama manusia
  3. Patriot yang sopan dan kesatria
  4. Patuh dan suka bermusyawarah
  5. Rela menolong dan tabah
  6. Rajin, trampil dan gembira
  7. Hemat, cermat dan bersahaja
  8. Disiplin, berani dan setia
  9. Bertanggung jawab dan dapat dipercaya
  10. Suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan

Pedal 5

Trophus ala Darwinisme

Tiga bulan sudah aku menjalani masa di SMP. Sekarang aku sedang menghadapi ulangan umum catur wulan 1. Usup temanku mengulang hafalan pelajaran sejarahnya dengan keras. Mulai dari Phitecantrophus Erectus hingga Meganthropus palaeojavanicus. Tak lupa materi ciri-ciri Homo Sapiens yang disebut-sebut sebagai generasi manusia purba yang cerdas. Siswa-sisiwi berderet di belakang gedung 1A. Mereka duduk di bawah pohon flamboyan yang sedang berbunga kuning kejinggaan. Tak hanya dia yang terdengar nyaring suara hafalannya tapi juga teman-teman yang lain tak mau kalah. Termasuk aku. Jam kedua ujian hari ini memang pelajaran IPS Sejarah. Pelajaran yang ini memang banyak memakan memori otak kanan kami. Karena sebagian besar pelajaran ini mempelajari hal-hal masa lampau. Dan kami disuruh bertamasya ke zaman pra sejarah. Sehingga kami harus menghafalkan tentang nama manusia purba, tempat ditemukannya fosil, artefak maupun prasasti-prasasti. Padahal kalau ditelisik lebih mendalam kita yang beragama Islam tak akan mudah mempercayainya. Bagaimana mungkin asal-usul dan nenek moyang manusia berasal dari kera. Sedangkan dalam kitab suci kami Alqur’an, nenek moyang kami berasal dari yang satu yang Allah ciptakan dari saripati tanah liat yaitu Nabi Adam. Namun bagi para pengikut teori Evolusi Darwin, mereka yakin dengan teori mereka bahwa nenek moyang mereka berasal dari kera. Sekalipun itu merendahkan harga diri mereka. Sehingga nama-nama fosil yang mereka para arkeolog Darwinisme temukan tak akan jauh gelarnya dengan “TROPHUS”. Lihat saja contohnya. Yang terkenal Phitecantrophus Erectus (Manusia kera yang berjalan tegak) lalu ada Meganthropus palaeojavanicus disusul dengan banyak jenis trophus-trophus yang lain seperti Pitecantrophus Wajakensis, Pitecantrophus Nethertalensis, Pitecantrophus Pekinensis dan lain sebagainya.

Seminggu sudah UUC 1 kami jalani. Siswa yang nilainya kurang harus menjalani remedial. Alhamdulillah dari sekian pelajaran yang diujikan tak satupun yang tega mencantumkan namaku dalam daftar siswa yang ikut remedi. Hari ini keberuntungan dan rahmat Ilahi masih memayungi siswa desa ini. Pengumuman itu sendiri ditulis di selembar kertas daftar absensi siswa yang ditempelkan di kaca ruang guru. Selama seminggu kegiatan belajar mengajar praktis kosong. Guru-guru sibuk menyetorkan daftar nilai siswa ke walikelas-walikelas. Sedang para siswa paling datangnya jam 7 pagi lalu jam 10 sudah sepi. Sabtu depan ayahku akan mengambilkan raportku.

Pedal 6

Cacing dan Typhus

Ku pandangi wajahnya yang mulai menua dan keriput. Ia tampak tulus dan terlihat kelelahan. Kepalanya di baringkan di atas kedua tangannya yang saling tindih antara tangan kanan dan tangan kirinya. Sedang tangannya yang seharian bekerja keras itu disandarkan pada bibir ranjang tempat tidur di mana aku membaringkan tubuhku yang lemas karena sakit. Selama hampir 24 jam ia melayani, menunggu dan merawat aku, menyuapiku, menemaniku, menghiburku dan mendoakanku tanpa mengenal lelah. Hatiku terlalu rapuh untuk terus memandangi wanita tegar ini. Tak kuasa aku menahan mata ini. Mataku kabur tatkala mengingat segala kasih dan sayang yang ibu berikan, dan berlinangkanlah mutiara bening dari sudut mataku. Ingin aku memeluknya, tapi tubuhku terlalu lemas untuk bergerak sehabis aku memuntahkan segala isi perut. Tadi ibu  membersihkan muntahan yang keluar dari perutku.

Aku cacingan kata Dokter Affandi yang memeriksaku pukul 20.00 wib. Di desaku ia lebih akrab dengan panggilan Pak Wandi. Ia dipanggil ke rumah karena aku mengerang kesakitan. Dan muntah beberapa kali serta buang air besar 2 kali. Mencret lagi.

Dan pukul 23.00 wib ini ia istirahat di sampingku karena kecapekan. Ibuku tidur dengan lelapnya. Ku lihat sekujur tubuhnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Aku bertanya dalam hati apakah ia masih hidup ataukah telah tiada. Alhamdulillah, perutnya masih bergerak naik dan turun yang menandakan ia masih hidup. Tak bisa kubayangkan  seandainya ia tiba-tiba meninggalkanku untuk selamanya. Sungguh tak bisa. Mataku kembali kabur menahan tangis dan air mata yang membasahi kelopak dan bulu mataku dan mulai membasahi bantal.

“Ibu aku sayang kamu, jangan kau tinggalkan aku Ibu!” lirihku. Mungkin ia tak bisa mendengar karena masih tertidur, tapi tak apalah.

Dua karung gabah masing-masing berbobot 52 kg dan 53 kg. Keduanya nangkringdi langkring depan dan boncengan belakang sepeda jengkiku. Dengan kepayahan kutuntun  pelan-pelan sepeda. Hari ini aku mendapat tugas membawa gabah itu ke pabrik penggilingan padi Pak De H.Baedlowi. Beras hasil penggilingan rencananya mau digunakan untuk hajatan nikahan kakak kelimaku, Dila. Tahun 2001 ia dilamar orang Tirto, kota Pekalongan.

Pukul 14.00 wib. Matahari mulai lengser dari singgasana tertingginya. Antrean di pabrik Ricemill mulai banyak setelah buka pukul 1 lebih 45 menit. Bahkan ada yang sudah menuggu di luar gedung pabrik sejak pukul 13.00 tadi. Biasanya yang begitu adalah warga dari luar desa Tunjungsari. Nash, karyawan Pak de memutar diesel. Asap hitam mengepul dari corong knalpot diesel. Asap hitam yang keluar dari pembuangan kotoran diesel berbahan bakar solar itu menimbulkan bau yang tak sedap. Diesel itu sebagai motor penggerak mesin penggiling padi. Getaran yang ditimbulkan mesin penggiling terasa mengguncang gedung. Kebisingan yang ditimbulkan diesel dan mesin penggiling memantul ke dinding memekakan telinga.

Karung bertuliskan netto 50 kg tapi berisi ± 53 kg gabah kering milik orang diangkat nash ke kepala sebelum ditumpahkan ke corong mesin Ricemill. Enteng sekali kelihatannya. Mungkin karena Nash sudah terbiasa jadi gabah segetu mungkin dianggapnya tumpukan kapas kali ya sama Nash. He..he..he.. Bagaimana tidak biasa? Ia sudah kerja di situ sejak aku masih MI hingga aku STM. Kulit gabah atau kami sering menyebutnya dedeg muncrat dari corong ke penampungan sementara di ruang belakang mesin Ricemill. Sedang beras hasil kelupasan mengalir ke bakul melalui corong depan. Bakul terbuat dari anyaman bambu telah dipersiapkan Nash untuk menampungnya. Jika bakul telah penuh, Nash menuangnya ka karung. Padi punya orang telah selesai digiling dan Nash meminta sang empunya untuk mambawa beras yang telah terkuliti ke mesin Ricemill pembersih yang berada di sebelahnya.

2 karung padi kering milikkku mendapat giliran untuk dipecah. Kebetulan aku mendapat urutan nomor 5. Aku bersiap menadah padi kelupasan dengan bakul. Lalu kumasukkan ke karung bekas gabah tadi. Setelah itu kugeret karung pertama ke mesin Ricemill pembersih yang jaraknya sekitar 2 meter dari mesin pemecah gabah. Berikutnya karung kedua menyusul di belakang karung 1 untuk antri.

Waktu ashar telah tiba. Tapi berasku belum bersih juga. Tepat pukul 16.15, 2 karung berasku mendapat jatah untuk dibersihkan. Bekatul dari padi kukumpulkan untuk umpan ayam di rumah. Selesai sudah beras digiling oleh karyawan yang satunya. Beras ditimbang oleh Bu De ku, Wo Khur. Ia istri dari Pak De H.Baedlowi. Tadinya bukan ia yang jaga, namun sepeninggalnya pak De mau tak mau ia harus jaga Ricemill. Total jenderal beras yang digiling ada 60 kg. Biayanya Rp 6000,- dengan perhitungan biaya jasa penggilingan adalah Rp 100/kg. Sedangkan bekatulnya di gratiskan kata Wo Khur.

Matur nuwun nggih Wo!” ucapku.

Podo-podo Ndung!!” jawab Wo Khur ramah.

Beras yang tadinya 2 karung kini tinggal 1 karung setelah mengalami proses penggilingan. Kuangkat beras tadi dengan kupeluk dan menggunakan kedua tanganku memegang pojokan karung tersebut. Sedangklan bagian atasnya biar tertutup rapat ku pocong dengan tali rafia kuat-kuat. Kuletakkan komplotan beras dalam karung itu di boncengan belakang sepeda jengki. Supaya tidak jatuh kuikat karung dengan tali yang kubuat dari sobekan karet ban dalam sepeda bekas. Perasaan beras 60 kg dengan gabah 105 kg lebih enteng gabah 105 kg. Apa karena aku sudah kecapekan kali ya. Aku merasa tak kuat memboncengkan beras 60 kg. Sepeda jengkiku bagian depan hendak terangkat sewaktu aku mau mulai menggenjotnya.

“E…e..ee..eee..eee”

Dari belakang seorang Paman berteriak, “Ati-ati, ndung!!”

“Inggih, Lek!” sahutku.

Sepeda berjalan 10 meter sepedaku goyang ketika menuruni turunan yang tak mulus jalannya. Dan….”GEDEBUG!!!!!” beras setengah karung itu jatuh dari boncenganku. Bersamaan itu pula sepedaku roboh ke kiri. Dan aku sendiri ikut roboh. Bokong karung itu sobek tersangkut baut as roda belakang. Mungkin aku kurang kuat sewaktu mengikatnya.

Lek Rali lari dari teras rumahnya. Ia menunduhku yang terjatuh. Aku disuruhnya memegang setang sepeda kuat-kuat. Ia lalu mengangkat beras dan menaruhnya di langkring depan. Setelah itu ia memintaku duduk di boncengan sambil mengemudikan sepeda. Jadi sepedanya tak ku genjot kawan. Tapi bisa dikatakan dituntun.

Cahaya matahari di ufuk barat mulai kemerahan. Ashar hampir habis. Jam dinding telah memperlihatkan jarum pendeknya di angka 5 dan jarum panjangnya di angka 10. Aku bergegas menuju kamar mandi sambil berdoa mau ke toilet, “Allaahumma innii a’uudzubika minal khubutsi wal khobaaits”. Tak lupa aku menenteng handuk di pundakku. Ku guyur sekujur badanku. Segar sekali. Debu bekatul beras hilang dari tubuhku mengalir bersama air suci yang mengguyur dari ujung kepala hingga ujung kakiku. Angin berhembus menambah dinginnya suasana sore menjelang petang. Aku tak berlama-lama di kamar mandi. Ku gosok seluruh personil jasad kerempeng anugerah Ilahi dengan sabun Nuvo family warna merah. Kami sekeluarga menggunakan sabun Nuvo karena tergiur dengan iklan di TV. Waktu itu nuvo mengadakan kunjungan untuk memberikan hadiah ke keluarga-keluarga yang menggunakan sabun nuvo. Tapi ternyata harapan kami kosong belaka. Agen itu tak pernah mampir ke rumahku.

Aku tak lupa menggosok gigi seri dan gerahamku yang tadi siang habis makan cumi dengan kuah kentut hitamnya. Ssedapp ssekalli!!

Segera handuk kutarik dari gantungan. Kubalutkan di pinggangku untuk menutup auratku dan beranjak menuju kamar untuk ganti pakaian. Baju kukenakan. Sarung kulilitkan. Sajadah kugelar menghadap kiblat. Rambut kusisir. Selanjutnya…..

“Allaahu akbar…!!!”

Kuterbuai dalam kubangan kekhusu’an sholat asharku yang terlambat. Sungguh kenikmatan ibadah yang tak terkira. Suasana khusu’ membuatku merinding ditambah hembusan udara dingin desa yang membuat bulu kudukku berdiri. Bersimpuh jiwaku dalam sujudku.

“Assalaamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh..!” sambil kutengokkan wajahku ke kanan. Pertanda sholat ashar telah selesai. Rasa khouf dan tawadlu’ menyelimuti doaku dan wiridku. Tasbih, tahmid, takbir dan tahlil membasahi bibirku.

Seusai sholat dan dzikir badanku makin merinding. Dingin menusuk pori-poriku. Rasa nyeri  menusuk-nusuk lambungku. Kupegang leher dan jidatku. Panas!! Badanku mulai menggigil. Buru-buru aku meminum teh hangat. Kedua kakiku seperti kesemutan dan pegal-pegal. Kuambil jaket. Aku belum memberitahu ibuku. Kunang-kunang mulai bertebaran di atas kepalaku. Pusing. Aku pusing. Pandanganku kuning dan kabur.

Kulihat lidahku di cermin. “Yah kotor! Jangan-jangan typhes? Ah aku harus makan biar ada yang mengganjal di perut ini.”

“Mak, aku lapar. Aku pingin makan!”

Malam harinya, Pak Wandi datang ke rumah untuk memeriksaku. Ia di panggil oleh ibuku. Setelah diperiksa aku positif terkena gejala typhes. Tiga hal yang harus aku hindari selama penyembuhan adalah tidak boleh makan pedas-pedas, es dan kecapekan jika aku tak ingin penyakit ini datang lagi.

Sekarang aku harus istirahat selama pernikahan kakakku.

Ku terbangun dimalam hari. Suara kokok ayam tetangga bersahutan. Gelap. Hanya warna putih duduk bersimpuh yang nampak di hadapanku. Badanku merinding. Mungkinkah ia malaikat yang hendak mencabut nyawaku? Satu tanda akan datangnya kematian dari yang 3 telah hadir di jasadku. Ya karena aku sering sakit. Itulah pelajaran tentang koreksi diri bagi umat manusia msekipun bukan di masa senja. Selain tumbuhnya uban dan bertambahnya usia. Badanku yang meriang dan demam karena efek typhus menambah rasa takutku. Ku amati dengan seksama. Bukan. Itu bukan malaikat pencabut nyawa. Tapi itu siapa ya? Sepertinya dia ibuku yang sedang mengenakan mukena. Ia sedang duduk bersimpuh di atas sajadah. Dan ia sedang berdoa dengan kedua tangannya menengadah ke atas. Tak ku dengar apa yang ia minta. Ku hanya mendengar ia sesekali sesenggukan.

Kawan, sekali lagi ia mendampingiku di samping tempat tidurku. Namun sekarang ia tidak tidur. Ia sedang menemaniku yang sedang jatuh sakit karena typhus dan perlu banyak istirahat. Dan mungkin dalam doanya tadi salah satunya ia berdoa bagi kesembuhanku. Sungguh ia seorang ibu sejati.

“Ibu aku sayang kamu, jangan kau tinggalkan aku Ibu!” lirihku

Pedal 7

Perempatan Gumawang

Jam dinding menunjukkan pukul 05.15 wib. Dari dalam rumah sehabis sholat shubuh seorang remaja mengeluarkan sepeda jengki. Sepeda jenis perempuan berwarna biru merek PHOENIX pabrikan China. Dengan rem bos di bagian as roda belakang. Rem yang cara pengeremannya diputar berlawanan arah genjotannya dan sepeda jengki itu juga tanpa rem depan. Serta tanpa palang antara sadel dan setangnya. Sepeda itu juga memiliki tempat duduk di belakang alias boncengan. Sedang standard yang dipakai adalah standard 1 miring kurang lebih 10 derajat jika distandardkan dengan posisi di sebelah kiri. Sadelnya berwarna hitam dengan lampu di depan yang akan menyala jika ada aliran listrik yang dihasilkan oleh putaran dinamo. Sedang dinamo akan berputar jika roda depan berputar itu artinya lampu akan nyala jika sepeda dijalankan, jika sepeda berhenti otomatis lampu juga mati. Sepeda yang dibelikan ayahnya seharga Rp 150.000,- ini dibeli dari Paman Jahri setahun yang lalu. Tepatnya tahun 2002. Tapi bulannya ia kurang tahu. Paman Jahri adalah sahabat ayahnya. Dan si remaja itu adalah aku sendiri Ibnu Thoha. Aku mengambil sepeda jengki itu dari rumah bagian belakang karena memang sepeda itu berada di ruang dapur. Aku lewat samping timur rumah menuju ke depan melewati halaman yang di sana terdapat pohon jambu monyet, pohon nangka, pohon kelapa, pohon rambutan, pohon kelapa gading dan pohon jambu biji. Kemudian belok kiri lewat selatan Musholla An Nurul Jannah.

Ku hendak pergi. Sebelumnya kuisi perut kecilku dengan sepotong roti sumbu/singkong rebus. Seperti biasa sebelum bepergian aku berpamitan dulu pada Ibuku. Aku bilang mau beli ballpoint ke rumah Mbak Sri. Pedagang makanan, minuman, alat-alat tulis dan keperluan rumah tangga. Lokasinya berada di samping selatan Masjid As Sholihin dan di belakang/sebelah barat Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Tunjungsari.

Ya, biasa layaknya keadaan di desa, meskipun pagi-pagi buta kita membeli sesuatu di rumah pedagang, kita akan dilayani dengan senang hati. Begitu juga dengan Mbak Sri, ia akan melayani dengan senang hati pembeli yang datang, meskipun pagi-pagi buta. Padahal kalau mau ia tak perlu melayani pembeli macam aku dan kembali mendengkur di atas kasur empuknya.

Namun omongan atau pamitan untuk membeli ballpoint itu hanyalah sebuah perkataan basa-basi. Dalam  hatiku aku bergumam, ”Maafkan aku Ibu, kalau aku telah berbohong”. Saat itu yang ada di-benak hatiku hanyalah ingin melaksanakan niatku yang telah terpen-dam beberapa bulan belakangan. Niat yang terpendam oleh emosi se-orang anak muda. Anak muda yang merasa sekali lagi merasa kecewa terhadap kurangnya kasih sayang kedua orang tuanya. Niat yang lahir oleh rasa iri dirinya terhadap keadaan teman-temannya. Bagaimana tidak kecewa, ketika teman-temannya bisa berangkat ke sekolah naik angkutan umum atau sepeda motor, ia harus naik sepeda. Kalau jaraknya dekat itu mungkin tidak masalah, tapi jarak yang harus ditempuh sampai ± 14 km ke sekolahnya. Semua itu terjadi karena orangtuanya tak sanggup memberinya uang saku untuk naik angkutan umum. Selain itu ketika teman-temannya bisa dengan mudah untuk jajan makanan atau peralatan sekolah. Ia harus menabung dari uang saku yang tak seberapa. Walaupun ada beasiswa JPS (Jaring Pengaman Sosial) di sekolah, ayahku tak mengizinkan-ku meminta keringanan tersebut. Bahkan ketika sekolah memberiku beasiswa ”Supersemar”. Sebuah beasiswa yang didapat karena kita berprestasi. Akupun tak jua diizinkan oleh ayahku untuk mengambil-nya. Karena ada syarat yang harus dilengkapi yaitu meminta surat keterangan tidak mampu dari kelurahan. Di situlah letak ketidaksetu-juan ayahku. Makanya begitu aku  memohon supaya ayahku pergi ke Balai Desa untuk meminta surat itu, ayahku tak juga berangkat ke Balai Desa.

Ibuku yang begitu sabar sedih, aku pun turut sedih. Akhirnya Ibuku meminta tolong pada saudaraku, yang kebetulan merupakan pamong desa untuk membuatnya. Entah apa yang ada dipikiran ayahku. Apakah ayahku mungkin merasa mampu walaupun nyatanya ia tidak mampu. Mungkin yang ada di kepalanya hanyalah gengsi, karena selama ini ia termasuk orang yang dihormati warga Desa Tunjungsari. Oleh sebab itu, yang ada dipikiranku itu bagaimana caranya agar aku tak bertemu dengan kedua orang tuaku khususnya ayahku. Walaupun sebenarnya ayahku baik dan disiplin dalam beribadah. Buktinya dulu waktu kukecil kalau waktu sholat telah tiba ia memanggilku untuk sholat berjamaah. Meskipun kala itu aku sedang asyik-asyiknya bermain. Entah itu shalat dhuhur ataupun ashar, maghrib, isya bahkan subuh. Padahal orang tua yang lain cuek-cuek bebek.

Ia pula yang pertama kali mengenalkan kepadaku kalau sholat jumat itu wajib bagi laki-laki sebelum pelajaran itu di sekolah kudapatkan. Sehingga jika hari jumat datang dan jam dinding menunjukkkan pukul 11.00 wib, aku belum pulang dari bermain karena hari libur, ia akan mencariku dan menyuruhku mandi untuk diajak jumatan. Padahal ketika itu aku masih berusia 6 tahun. Sungguh ia adalah orang tua yang begitu memperhatikan apa yang diajarkan Rasulullah SAW. Ia juga sering mengajarkan kepadaku tentang budi pekerti, bercerita masa-masa penjajahan, bercerita tentang seluk-beluk Tunjungsari, serta silsilah keluarga dari nenek-kakek buyut hingga lahirlah aku ke dunia yang semakin panas ini. Ia juga selalu mengajakku ke mesjid As Sholihin setiap sore di bulan Ramadhan untuk mendengarkan Tafsir Qur’an yang dilanjutkan berbuka bersama.

Dan waktu musim kemarau saben sore setelah adzan dan sholat ashar. Sewaktu matahari mulai condong ke barat. Ayahku juga mulai memimpin anggota keluarga kami. Mereka dikerahkan ke sawah sebagai pasukan penyiram tanaman ketimun yang di tanam di sawah di belakang rumahku. Bahkan kakakku yang kelima ’Dila’ juga ikut menyiram timun meskipun sebenarnya ia sedang hamil kala itu. Ayahku menimba air di sumur buatan yang ia gali sendiri di sawah saudara ayahku yang kering di musim kemarau. Ia mengambil lokasi sumur di sawah bagian pinggir tepatnya di bawah pohon mangga golek. Awalnya air buat nyiram ketimun kami bawa dengan cara ditenteng seember-seember. Satu di tangan kanan dan dan satu di tangan kiri. Namun karena jalan yang harus di tempuh ± 15 meter dan jika dijalani secara bolak-balik begitu terasa capeknya di badan dan cepat membakar serta menghabiskan banyak kalori dan tenaga kami. Maka ayahku mengeluarkan ide cemerlang. Ia memasang selang yang terbuat dari plastik sebagai saluran air dari sumur ke sawah di mana timun di tanam. Ia membuat semacam tempat penampungan air timbaan yang tebuat dari ember besar. Ia taruh penampungan itu setinggi pundak dan bagian bawahnya dilubangi lalu selang plastik tadi dipasang pada lubang tadi. Sehingga air yang ditaruh di tampungan otomatis mengalir ke sawah tempat dimana timun berada. Ide itu muncul sesuai dengan teori fisika di mana air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Meskipun tetap menenteng namun jaraknya yang harus ditempuh berkurang 90% dan penentengan hanya terjadi di area sawah di mana ada timun di situ.

Ketika bacaan surat Al-Baqoroh ayat 31 mulai berkumandang dari Masjid di Waru Kidul selang kami rapihkan. Karena bacaan itu menandakan kalau adzan maghrib segera mengangkasa. Dan kami sendiri harus mandi dan bersiap-siap untuk bergegas ke Musholla di samping rumah guna mendirikan salah satu kewajiban kami sebagai seorang muslim yaitu sholat Maghrib berjamaah. Begitulah setiap pagi dan sore kegiatan kami sekeluarga selama masa pelanggaran. Masa di mana sawah mengalami kekurangan pasokan air dan dia tidak bisa ditanami padi. Karena padi merupakan tanaman yang membutuhkan banyak asupan air. Maka tanaman yang tak butuh banyak air menjadi alternatif. Seperti ketimun, walaupun sebenarnya sama-sama membutuhkan air. Jika masa pelanggaran, tidak hanya ayahku saja yang menanam sawah bukan dengan padi tapi juga petani-petani yang lain. Ada yang menanam semangka, kacang panjang atau kacang hijau.

Di samping itu, aku juga mempunyai masalah dengan anggota dan pengurus Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) sebuah or-ganisasi remaja yang bernaung di bawah ormas Islam Muhamma-diyah. Waktu itu aku  tidak mau dijadikan ketua IRM, namun waktu  pemilihan ketua IRM aku tetap dicalonkan. Dan yang terjadi akhir-nya aku terpilih menjadi ketua IRM  periode 2002/2003.

Akhirnya semua program-program IRM yang telah direnca-nakan banyak yang tidak sukses dalam pelaksanaannya. Setiap rapat aku hadir terlambat atau bahkan aku tak hadir dan tak tampak batang hidungku yang mancung sama sekali. Dengan berbagai alasan  yang  klasik hingga mutakhir sampai jujur malas untuk hadir di rapat aku ungkapkan. Setelah IRM kubuatnya tak exist, selanjutnya sekolahku  mulai berantakan. Ke sekolah sering terlambat, nilai-nilai ulanganku jeblok, absensiku / ketidakhadiranku di sekolah juga banyak. Sifat-sifat buruk dari syetan  muncul dari pribadi yang dulu dikenal santun, ramah dan sopan ini. Sifat-sifat tak terpuji juga terbit dari mantan ke-tua OSIS SMP N 2 WIRADESA yang dikenal disiplin dan bertang-gungjawab ini. Mudah marah, mudah tersinggung, indisipliner, pem-bohong / pendusta, ingkar janji, tidak amanah adalah beberapa sifat jelek yang muncul dari mantan juara III Lomba Baca Puisi Tingkat Jateng tahun 1997 bulan Oktober di Banyumas dan mantan juara kelas MIM dan SMP serta mantan santri Ma’had Al Hasan  Al Bashri ini. Namun dengan alasan-alasan yang aku ungkapkan semua yang berurusan denganku tetap percaya padaku. Dan lagi-lagi yang ada di pikiranku adalah bagaimana caranya agar aku tak bertemu dengan mereka. Dan puncaknya adalah pagi ini. Aku merencanakan kabur dari rumah. Padahal seharusnya bagaimana masalah itu diselesaikan bukan malah dihindari. Sehingga bagaimana mungkin suatu masalah akan cepat selesai kalau terus dihindarinya. Sebuah pendapat mengatakan, ”Suatu  masalah ada untuk diselesaikan bukan untuk dihindari”. Namun yang ada dikepalaku hanyalah kabur. Padahal kalau dipikir-pikir masalahnya tak begitu serius tapi bagiku masalah ini adalah masalah serius. Apa sebab? Sebab semua hal itu membuat pikiranku tertekan dan bathinku tersiksa.

Beberapa usaha telah kulakukan untuk meredam keinginan kaburku. Mulai dari sering membaca buku-buku psikologi, pertanian hingga bermain PS. Namun hasrat itu tetap tinggi. Setan setiap hari menggodaku untuk kabur. Bahkan setiap pagi dan sore hasrat itu begitu kuat. Untuk meredam keinginan kabur iitu aku sengaja bermain bola setiap hari dengan teman-temanku. Meskipun hari itu hujan, aku akan menuju lahan kosong yang biasa kami gunakan untuk bermain. Sering pula aku menangis dalam membaca Alqur’an dan sholatku. Sayangnya aku adalah pribadi pendiam dan suka merahasiakan segala sesuatu. Sehingga ketika terjadi suatu masalah padaku, aku akan memendamnya dalam-dalam. Berceritapun aku berani. Bahkan untuk meminta uang saku pun aku sering tak berani kecuali benar-benar terpaksa. Biasanya Ibuku yang memberi bukan aku yang meminta.

Pagi ini suasana desa masih diselimuti kegelapan. Desa kecil ini juga masih sepi, hanya baru beberapa orang yang mulai berakti-vitas. Ada yang jalan-jalan, ada yang mulai berangkat ke sawah  atau para pedagang tempe yang akan menjajakan tempenya. Tak nampak kecurigaan dari mereka terhadapku.

Aku tersadar dan bergumam, “Mumpung desa masih sepi dan gelap aku akan kabur dari rumah sekarang, apalagi ujian semester ganjil kelas 2 STM-ku telah usai. Dan seandainya aku ingin kembali ke rumah nanti, anggaplah ini liburan yang menyenangkan yang tak pernah aku dapatkan dari orang tuaku sewaktu kecil. Walaupun dulu waktu liburan MIM kelas IV aku pernah diajak ke Jakarta naik bus sampai semua isi perutku habis terkuras karena muntah hingga muntah yang berwarna kuning dan pahit, tapi di sana aku hanya ikut jualan peyek ke pasar. Bukan diajak ke tempat-tempat wisata. Jadi yang terasa padaku adalah liburan yang tak berkesan. Kecuali kesan jadi  penjual peyek. Kesan yang tentunya tak diharapkan oleh anak kecil macam aku. Padahal sebelum aku berangkat ke Jakarta aku sudah membayangkan akan diajak kakakku, Mbak Buroh ( Kakak nomor 2 yang tinggal di Jakarta )  jalan-jalan ke Taman Mini Indonesia Indah atau ke Taman Impian Jaya Ancol atau Ragunan atau Monas. Tapi yang kudapat adalah mengisi liburanku dengan bangun pagi buta mendorong gerobak warna biru dan mengantar Mbak Buroh  ke Pasar Jambul jualan peyek. Sebuah pasar kecil di bilangan Cililitan, Jakarta Timur.”

Aku mulai mengayuh sepeda jengki menyusuri jalan desa melewati sawah-sawah yang berada di kanan dan kiri jalan. Aku lewat Dukuh Klanyah. Walaupun desa, jalan-jalan utama telah diaspal. Kegiatan ’petualangan’ ini aku laksanakan bulan Januari 2003. Di mana masa ujian semester 3-ku di jenjang STM telah kulalui.

Dalam perjalanan, sewaktu mulai meninggalkan Desa Tun-jungsari ( Kec.Siwalan dulunya Sragi ) dan akan memasuki Kam-pung Dukuh, Desa Ketandan ( Kec.Wiradesa, Kab. Pekalongan ) da-lam hatiku ingin rasanya aku kembali. Dan mengurungkan niat bu-rukku  ini. Niat yang dapat membuat banyak orang panik. Khusus-nya kedua orang tuaku. Lebih-lebih Ibuku yang begitu sayang pada-ku. Niat yang dapat membuat Kakak-kakakku, teman-temanku atau  mungkin guru-guruku merasa kehilangan diriku. Walaupun sekarang aku telah berubah, aku tetaplah adik yang dulu penurut, teman yang dulu setiakawan, sering membantu mengerjakan PR dan taat beri-badah serta rendah hati, murid yang dulu sering membantu bapak dan  ibu guru membawakan buku tugas anak-anak tanpa harus diminta, meminta tugas ke ruang guru waktu jam kosong disaat teman-temanku ingin pada bolos, murid yang sopan, santun, disiplin, bertanggungjawab & pandai. Niat yang bakal menggemparkan desa. Niat yang bakal membuat nama keluarga tercoreng. ”Selain itu, desa ini juga akan kehilangan mantan juara dan  tunas desa yang berprestasi seperti aku tentunya jika aku jadi pergi dari sini. Eit jangan sombong, kau harus rendah hati meskipun kenyataannya memang demikian.,” lirihnya di hati bagian empedu sambil beristighfar karena aku ingat hadits nabi Muhammad SAW berkenaan dengan bahwa orang yang sombong tidak akan masuk surga walaupun kesombongan itu seberat biji dzarrah ( partikel terkecil di dunia ) semacam inti atom neutron atau proton.

Setelah menggenjot pedal sepedaku pelan-pelan akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan niatku itu. Sepeda kukayuhnya me-nyusuri jalan raya beraspal Wiradesa-Bojong. Pagi itu kebetulan ja-lanan sepi, tak banyak angkutan pasar yang lewat. Mungkin mereka kesiangan atau telah sampai di pasar lebih dulu. Atau diriku yang memang berangkat pagi-pagi buta. Desa Ketandan-Desa Waru Kidul-Desa Waru Lor-Desa Kampil dan Kel. Gumawang telah kulewati sa-tu per satu.

Di perempatan Gumawang, Wiradesa aku berhenti sejenak. Sebuah perempatan yang berdiri pos polisi di sebelah kanan aku berdiri terus traffic light ada di masing-masing lajur jalan. Baik yang ke timur, barat, utara, ataupun yang ke selatan. Lalu toko kelontong dan makanan serta buah-buahan dan antimo milik orang china berada di sebelah kiriku yang duduk di atas sepeda jengkiku menghadap ke uatara. Di belakang toko tersebut terdapat GEREJA PANTEKOSTA. Aku tahu kalau itu gereja karena di bagian depannya terdapat lambang kayu silang seperti tanda plus dalam operasi penjumlahan yang ditempelkan di dinding. Bedanya kayu yang vertikal lebih panjang dari pada kayu yang horizontal. Di utara seberang jalan sebelah kanannya nongkrong sebuah gedung penjual jasa fotokopi dan sebelah kirinya banyak warung bakso dan sate. Sedangkan di atas jalan persis tengah-tengah perempatan menyilang besi yang ditopang tugu pembagi jalan barat, timur, utara dan selatan.

Aku berhenti karena di situ di perempatan Gumawang tiba saatnya aku harus menentukan arah perjalanan selanjutnya. Belok ke kiri yang artinya aku  melanjutkan  niat kaburku  ke arah Jakarta dan daerah barat lainnya atau ke kanan melanjutkan niat kaburku  ke arah Semarang dan daerah timur lainnya. Sedangkan kalau ke utara atau menyeberang jelas itu tak mungkin karena aku akan bertemu dengan laut utara Jawa meskipun kalau menyeberang laut bisa ketemu daratan Kalimantan. Sedang dalam silsilah keluargaku tak ada satupun yang menjadi seorang pelaut. Atau pilihan yang keempat adalah berbalik arah ke selatan dan kaburnya dirubah ke arah daerah-daerah di selatan macam Kebumen dan Magelang. Atau pilihan yang terakhir yaitu mengurungkan niat kaburku dan kembali ke rumah serta melanjutkan kehidupan seperti biasa. Tak mungkin aaahh…

“Kalau aku ke Jakarta di sana ada Kakakku atau orang-orang desa Tunjungsari lainnya yang merantau disana, nanti ketahuan! kan  aku  pingin kabur. Kalau aku ke Semarang atau ke daerah  timur lain-nya setahuku di sana tak ada saudara atau tetangga yang merantau di sana. Dan jika aku balik ke rumah…..aku akan bertemu dengan ayah-ku yang sok gengsi itu dan teman-temanku yang membuat aku gerah untuk tinggal di sana. Kalau aku lanjutkan kabur aku akan makan apa nanti, uangku tak cukup untuk hidup walau hanya beberapa hari saja,” gumamku dari hati kecilku. ”Bisa-bisa aku jadi gelandangan, iiiihhhhhh…..ngeri, aku kan anak rumahan masa jadi gelandangan apa kata dunia,” gerutuku sambil menggerakan badanku yang merinding.

Hatiku dan akalku sembrawut tak karuan, benar-benar kacau balau. Pelan dan pelan kakikupun  mengayuh  pedal mengikuti arah setang sepeda yang dibelokkan ke kiri oleh tanganku yang mengikuti perintah sang juragan ”otak” ku. Di dalam kebimbangan dan kera-guan, serta perasaan sedih dan kecewa. Sedih karena harus berpisah dengan orang-orang tercinta. Kecewa karena kenapa nasibku selama ini kok begini. Aku  jadi teringat dengan kata-kata ibuku  dulu, ”Nak, coba kamu lahir di Keluarga H.Baedlowi. Hidupmu pasti tak akan begini, kamu pasti akan senang. ”H.Baedlowi sendiri adalah Pak De ku dari pihak Ibu. Ia adalah salah  satu orang yang kaya di desaku. Ia punya Pabrik Penggilingan Padi yang cuma satu-satunya di desaku. Namun takdir berkehendak lain sehingga aku dilahirkan di keluarga yang kekurangan ini.

Ayahku datang dengan sepeda jengki biru. Pakaiannya sederhana hanya kemeja batik dengan celana cokelat muda tapi lebih cocok kalau dibilang krem. Kulit hitam dengan uban menghiasi rambutnya. Senyum keci terlempar dari mulutnya ketika ia mellihatku yang sedang duduk bergerumun dengan teman-temanku. Giginya kuning namun tetap utuh belum ada yang tanggal meskipun usianya telah 60an. Katanya ia jarang sikat gigi tapi ia tidak sering makan dan minum yang panas-panas dan dingin-dingin. Sehingga meskipun usianya telah menginjak senja giginya tetep utuh. Itulah rahasianya sekalian menjalankan perintah sang baginda Rasul. Sekali mendayung 2/3 pulau terlampaui. Sambil nyari pahala sambil merawat gigi.

Pukul sembilan pagi ia keluar dari ruangan. Acara pembagian raport telah usai. Ia langsung pamit tanpa mengucapkan sebatang kata selain senyuman dan salam. Katanya hendak mengambil raport kakakku di SMA Bojong.

“Alhamdulillah tak ada yang merah, aku dapat predikat juara kelas lagi!” teriakku di sanubari.

Pedal 8

Comal First Shelter

Tekadku telah bulat. Jalan raya yang sepi dan serasa tak beru-jung itu kulewati sejengkal demi sejengkal. Selangkah demi selang-kah. Semeter demi semeter. Hingga kota Wiradesa tak tampak lagi di ujung pandanganku. Di atas sadel sepeda jengkiku aku terus menga-yuh sambil merenung. Tiba-tiba seperti ada suara yang menanyaiku. ”Kenapa kau melakukan ini? Apa yang sedang kau lakukan? Apa sa-lah orang tuamu? Apa salah teman-temanmu? Kenapa kau tega mela-kukan perbuatan yang dapat mengiris hati orang-orang yang men-cintai dan menyayangimu setulus hati? Apa salah mereka kepadamu? ”Berbagai pertanyaan itu terngiang-ngiang di telingaku. ”Sadarkah engkau dengan perbuatanmu ini? Cobalah kau ingat, Betapa sayang-nya Ibumu padamu? Kau pasti ingat dikala engkau sakit thypes dan kau tergeletak di ranjang setengah bulan! Siapa yang merawatmu? Siapa yang  menyuapimu? Siapa yang memanggilkan dokter untuk-mu? Siapa yang menjagamu dan menemanimu dikala engkau tidur? Disaat engkau muntah karena tak kuat menahan mual diusus dan lambungmu, Siapa yang membersihkan kotoran itu? Bukankah eng-kau melihat sendiri ketika engkau terbangun, engkau minta dibuatkan teh hangat, dengan mata sayu sambil mengucek-ngucek matanya yang masih merah ia membuatkan teh yang kau minta  itu lalu mem-berikannya padamu. Ia tetap melayanimu dengan penuh kasih sa-yang meskipun badannya capek. Dan demi harapan ingin melihat se-buah kesembuhan untuk anak terkecilnya yaitu kamu, ia tetap mera-wat dirimu. Siapa yang merawatmu disaat engkau masih kecil? Siapa yang menyusuimu selama 2 tahun? Siapa yang malam-malam ba-ngun disaat engkau  menangis karena ngompol dan  harus diganti po-poknya? Siapa..? Siapa yang telah membiayaimu selama belajar di MIM dan SMP…? Siapa yang membiayaimu disaat engkau ikut por-seni (Pekan Olah Raga dan Seni) MI di Banyumas…..? Siapa yang  memberimu  makan selama ini? Siapa lagi kalau bukan Ibumu dan bapakmu? Inikah pembalasan yang akan kau berikan padanya? Sung-guh kejam, durhaka, anak yang tidak berbakti dan tidak tahu terima kasih.”

Di mana akhlak yang kau pelajari sewaktu  kau belajar di Ma-drasah dulu? Di mana pelajaran agama yang kau pelajari di TPA dan di Ma’had Al Hasan Al Bashri? Di mana nuranimu….di mana akal sehatmu sehingga engkau berani melakukan tindakan yang bakal membuat ia menangis mungkin sehari mungkin seminggu mungkin sebulan atau bahkan bertahun-tahun…..? Bukankah dulu engkau sen-diri yang meminta sekolah di STM N 1 Kedungwuni. Sekolah yang jauh dari tempat tinggalmu. Bahkan diawal-awal, Ibumu telah mengi-ngatkanmu, bahwa ia akan kesulitan membiayai sekolahmu. Tapi kau  tetap keukeuh pada pendirian ingin sekolah di sana. Sekarang engkau ingin mencoba menyakitinya dengan pergi tanpa pamit alias kabur dari rumah. Pertanyaan-pertanyaan itu terus terngiang membentuk la-gu keras dan rock di telingaku. Sehingga rasanya gendang telingaku terasa mau pecah.

Pikiran iblislah yang terus menyemangatiku agar terus dan te-rus menggenjot dan mengayuh pedal sepeda jengkiku. ”Sudah ga usah dipikirkan, bukankah mereka tidak peduli padamu, buktinya se-tiap hari menu makannya itu-itu melulu tak ada variasi. Kalau pagi sego megono (nasi liwet lauk nangka yang dicacah tanpa aturan dengan golok hingga terpotong kecil-kecil lalu diberi bumbu dan rempah-rempah dengan rasa khas Pekalongan dan dikukus hingga mateng). Kalau siang ya nasi lauk tempe goreng dan sayur asam. Uang saku juga tidak bertambah Rp 2000,- terus padahal kan harga-harga pada naik, angkot juga naik tarifnya, jajanan di kantin juga naik. Masa kamu uang sakunya ndak naik-naik, kamu juga pingin hiburan, masa tiap kali diajak main PS kamu menolak terus dengan alasan ga punya duit. Daripada di sana lebih baik di Jakarta. Ayo terus genjot, teman-temanmu pasti senang jika kamu tak ada di sana. Karena tak ada anggota organisasi seperti kamu yang nyebelin, telat rapat terus dll.”

Ternyata hati, ampela, lambung, rambut, kaki, tangan, otak dan seluruh anggota badanku memilih untuk terus melanjutkan per-jalanan sekaligus petualangan baru bersepeda ke Jakarta. Jarang-ja-rang lho kawan piknik ke Jakarta naik sepeda. Biasanya ke Jakarta kan  naik bus atau kereta api atau sepeda motor. Walaupun dulu ke Jakarta pernah ada yang jalan kaki.

Eh di Comal muncul lagi pertanyaan, tapi sekarang agak aneh pertanyannya. Setan apa yang merasukimu hah? Kesambet di mana kau? Apa di pohon salam? sebab beberapa hari ini kau agaknya se-neng banget manjat pohon. Padahal kan udah lama kau pensiun dari kegiatan panjat memanjat. Atau di sungai besar yang mengalir airnya hingga Pait itu? Karena akhir-akhir ini kau juga sering mandi di sungai walaupun air di sumur banyak.

Aku ragu, kurem sepedaku. Kupinggirkan. ”Hebat sekali,” je-ritku. Sudah lama aku  tak mengayuh sejauh ini. Paling jauh juga ke sekolah. Ini sudah ± 30 km dari rumahku. Apalagi untuk ukuran se-peda jengki. Untungnya dulu ayahku mengajarkan aku menempuh perjalanan jauh dengan bersepeda walaupun saat itu aku hanya duduk di belakang alias membonceng. Serta dulu sering bareng teman-te-manku ke Pantai Kisik dan Sunter atau ke Makam Pahlawan Wangandowo (Bojong) dan Bukit di Kajen. Daerah yang pernah ku-singgahi bersepeda bareng ayahku antara lain Ulujami, Kedungwuni, juga Sragi. Comal sebuah kecamatan yang berkabupaten di Pemalang berada di sebelah barat Pekalongan menjadi tempat pemberhentian pertama (Comal First Shelter). Kulihat jam menunjukan pukul 07.00 wib. Aku memang tak membawa jam tapi aku bisa melihat jam dinding yang menempel di Masjid dekat aku berdiri. Tak kurang sepuluh menit aku berpikir untuk kembali atau terus. Untuk kembali mumpung masih dekat dan untuk terus perjalanan masih jauh jarak yang harus kutempuh. Padahal aku tak tahu aku sebenarnya mau kemana? Ah yang penting kabur dan tak ketemu lagi dengan orang-orang yang dalam tanda kutip bikin aku tak tenang. Dan sepeda jengkipun kembali  berjalan. Roda dan rantai berputar dan terus berputar tanpa mengenal rasa lelah. Keduanya berputar sesuai program G03 dengan putaran sebesar 80 rpm dan kecepatan maksimumnya 28 km/jam . Ia tak mau berputar berlawanan arah jarum jam. Sebab jika sekali-kali berani menggunakan program G02 atau berlawanan arah jarum jam maka otomatis sepeda jengki akan berhenti. Karena memang begitulah cara kerja rem bos pada jenis kendaraan kereta angin ini. Namun apalah jua perut yang kosong memanggil sang bos otak supaya memerintahkan kaki tuk berhenti mengayuh dan istirahat. Mesjid di Brebes menjadi tempat pember-hentian berikutnya. Di sana aku minum air kran. Padahal ada uang saku ± Rp 20.000,00 yang bisa aku belikan roti dan air mineral. Dahaga dan lelah telah sirna. Sebelum melanjutkan perjalanan tak lupa sebotol air mineral dan sebungkus roti bolu isi 12 potong kubeli. Kupersiapkan  jika nanti ditengah jalan aku kehausan dan kelaparan. Rp 1500,00 + Rp 1200,00 telah kuhabiskan dan sisanya kukantongi. Tujuanku sekarang telah terbentuk dan tercatat dalam memoriku yang minim kreasi ini ”JAKARTA”. Di mana kakakku Buroh tinggal. Tepatnya daerah Kel.Kebonpala, Kec.Makasar, Jakarta Timur. Aku masih ingat. Walaupun  kenangan itu terukir 7 tahun yang lalu. Paling tidak aku kenal daerah yang Mbak Buroh  tinggali. Matahari mulai beranjak meninggi dan rasa panas menghampiri tubuhku. Kebetulan waktu telah memasuki waktu sholat Dhuhur, sambil istirahat aku sholat di Brebes. Badanku terasa pegal semua. Pikiran tentang orang tua dan teman-teman di desa telah lenyap dari bayanganku. Walaupun kadang masih muncul. Yang ada di pikiranku sekarang adalah sholat dhuhur dulu setelah  itu menemui kakakku di Jakarta. Walaupun apa yang terjadi di sana nanti. Dalam hatiku aku berkata sudah kepalang tanggung aku mengayuh sepeda sejauh ini. Selepas jamaah dhuhur aku melanjutkan petualanganku. Ya sebuah PETUALANGAN BERSEPEDA KE JAKARTA. Untuk sholat Ashar aku  mampir di Masjid daerah Cirebon. Yang ada di pikiranku  hanyalah mampir ke masjid dan masjid tak ada keinginan untuk mampir ke rumah orang atau kantor polisi. Bahkan botol air minum telah beberapa kali kuisi ulang dengan air kran dari beberapa masjid yang kusinggahi. Tak ada perasaan takut diare untuk hari ini dan esok selama petualangan belum berhenti. Keringat membasahi tubuhku. Sesekali baju lengan panjang atau kaos bergambar kepala harimau warna hitam kugunakan lengannya untuk menyeka keringat yang mengalir deras dari ubun-ubun kepalaku. Baju seragam PEMUDA PANCASILA itu pun menjadi basah kuyup meskipun tak ada hujan. Ya Alhamdulillah hujan tak turun menyertai perjalanan ini. Tapi panas matahari yang memantul dari aspal atau langsung mengenai badan ini terasa membakar sekujur tubuh kerempeng ini. Terbersit dalam hati ketika melihat TOPI di jalan untuk mengambil-nya. Namun hati dan akalku melarangnya. Karena memang bukan hakku untuk menggunakannya. Walaupun dalam keadaan seperti ini ternyata nurani dan imanku masih bisa berkata lho kawan.

Dan puncak panas hari ini adalah jalanan aspal perbatasan Ja-wa Tengah dan Jawa Barat tepatnya Brebes-Cirebon. Di mana kanan dan kiri jalan ditumbuhi tanaman bawang merah yang tak ada satu-pun pohon besar di pinggir jalan. Sehingga semakin menambah pa-nas dan dahaganya hari itu. Entah kalau diukur suhunya mungkin mencapai sekitar 380C. Kalau anak kecil yang kepanasan  mungkin sudah kejang-kejang kali…Celana panjang abu-abu seragam STM-ku membantu melindungi kakiku dari terik matahari dan pembakaran sinar ultra violet yang mulai menerobos dengan leluasa ke lapisan atmosfer bumi karena makin melebarnya lubang ozon akibat pemanasan global dan gas rumah kaca. Sinar matahari yang mengandung sinar UV itu tak tahu perasaan seenaknya memanggang tubuhku yang kurus kering ini. Matahari mulai bergerak perlahan-lahan untuk menyelam di ufuk barat. Semburat jingga nampak indah mengiringi kayuhan remaja tak tahu terima kasih ini.

Akhirnya perlahan namun pasti hari mulai gelap bersamaan terbenamnya sang surya di ufuk barat yang tunduk pada perintah sang Maha Pengatur. Tapi aku  tak juga menemukan musholla atau mesjid untuk sholat maghrib. Padahal aku berencana tak akan mela-kukan kayuhan sepeda pada malam harinya. Namun tempat yang ku-harapkan tak kunjung tampak.

Sepeda terus kukayuh. Aku pasrah jika aku meninggal di ja-lanan sepi tapi ramai ini. Sepi karena tak kujumpai perumahan penduduk. Yang ada hanyalah hamparan tanaman padi dan ilalang. Bahkan surau, masjid atau mushola yang kucari di kiri dan kanan jalan belum juga nongol. Ramai karena kendaraan-kendaraan besar macam truk-truk gandeng, container dan bus-bus besar mulai banyak Semuanya berjalan di sebelah kiri jalan raya tdak disebelah kanan. Entah kenapa di Indonesia yang katanya mayoritas masyarakatnya adalah muslim tapi jalannya di sebelah kiri, sedangkan di Inggris penduduknya yang sebagian besar beragama Kristen malah jalannya di sebelah kanan. Padahal Rasulullah Muhammad SAW lebih menekankan kepada kita dalam melakukan sesuatu khususnya yang baik-baik dengan yang kanan atau mendahulukan sebelah kanan daripada sebelah kiri. Contohnya wudlu dimulai dari tangan kanan kemudian baru tangan kiri. Atau perintah makan menggunakan tangan kanan. Contoh lainnya adalah tangan kanan digunakan untuk memberikan sesuatu atau hadiah kepada teman atau orang lain, sedangkan untuk yang kurang baik dengan tangan kiri. Contohnya ketika buang air besar ataupun kecil digunakan tangan kiri untuk membersihkannya. Sejarah mencatat pada masa penjajahan Inggris di Indonesia seorang Jenderal bernama Jenderal Raflesia Arnoldi memberlakukan peraturan tersebut. Begitu yang tercatat dalam buku sejarah bangsa. Dan mereka (kendaraan-kendaraan besar) seolah-olah siap menerkam siapa saja yang menghalangi jalan di depannya. Perasaan takut dan takjub mengisi pikiran ini. Sungguh pemandang-an yang jarang sekali kulihat.

Terbayar sudah harapan yang membuncah tuk menemukan musholla / masjid. Dari jarak ± 200 m kulihat Mustoko begitu orang  jawa bilang. Meskipun orang Jakarta bilang itu adalah kubah. Simbol mesjid yang terletak di puncak tertinggi bangunan tempat ibadah  bagi orang Islam. Entah apa namanya yang penting bagiku adalah aku berharap bisa istirahat di sana. Mudah-mudahan mesjid itu tak dikunci. Kupercepat ayunan pedal sepeda jengkiku. Karena kuper-kirakan waktu maghrib hampir habis. Sesampai di Mesjid itu yang ternyata adalah musholla kulihat hanya ada satu rumah di pinggir musholla itu. Aku yakin bahwa musholla ini adalah musholla ke-luarga tersebut. Rumah itu berada di sebelah kanan Musholla jika kita menghadap ke Kiblat (barat) atau di sebelah utara Musholla dan menghadap ke selatan. Sedangkan toilet dan tempat wudlunya berada di sampaing barat rumah Pak Khaeruddin juga menghadap ke selatan. Aku  meminta izin kepada keluarga tersebut. Dari perkenalan Bapak Tuan Rumah itu adalah Bp. Khaerudin. Dan yang lainnya tak ada yang diperkenalkan oleh beliau. Ia bersedia mengizinkan aku untuk sholat maghrib dan isya serta menginap di situ. Maghrib aku laksanakan penuh dengan kekhusu’an. Selesai sholat dari wajah Pak Khaerudin kutangkap rasa heran  kenapa aku sampai menginap segala.

Beliau bertanya,”Adik mengapa menginap di sini segala?”

“Aku ada masalah dengan keluarga, Pak” jawabku.

“Sebenarnya adik dari mana dan mau ke mana?” lanjutnya.

”Aku dari Pekalongan, tapi untuk ke mana aku bingung.”

”Kok bingung?” ia mencecarku.

”Sebenarnya aku mau ke tempat kakakku.”

”Di mana itu?”

”Di Jakarta Timur.”

”Terus!”

”Tapi aku takut kakakku marah karena aku  kabur dari rumah.”

”Jadi adik tidak bilang orang tua tuk kesana!!”

”Sekarang adik sudah  makan apa belum?” tanyanya lembut sekarang.

”Belum.”

”Sebentar ya……”

Sejurus kemudian kepala keluarga tersebut mengambilkan  nasi dan lauk pauk ala kadarnya dari dalam rumah yang diambilkan putrinya. Tempe goreng dan sayur sop serta ikan teri plus sambal. Beberapa menit kemudian tubuhku terasa segar kembali setelah terisi oleh karbohidrat dan protein dari hidangan penuh keikhlasan Pak Khaerudin. Aku pamit untuk istirahat setelah sholat maghrib, Isya dan makan malam. Semalaman aku tidur tanpa selimut. Dingin dan nyamuk menyerang tanpa kenal ampun. Mungkin karena lapar juga nyamuk-nyamuk tersebut. Bedug shubuh bergema dilanjutkan alunan adzan membangunkanku dari lelapnya tidur. Aku kaget. Kamar man-di untuk wudlu dan buang air dikunci. Aku berpikir keras bagaimana aku bisa wudlu kalau tidak ada air. Karena tak ada jalan lain, air mi-neral dalam botol aqua pun akhirnya aku gunakan untuk wudlu. Aku sholat dengan khusu’. Setelah selesai aku berdoa semoga besok di-perjalanan aku tak menemukan halangan yang berarti serta kudoakan keluarga ini semoga memperoleh rizki yang lancar sebab jika aku berdoa agar mereka diberi rizki yang banyak aku takut rizki tersebut akan habis saat itu juga, kuketuk pintu rumah Pak Khaerudin yang masih terkunci untuk mohon diri. Pak Khaerudin keluar.

”Pak, saya berterima kasih atas semuanya. Sekarang saya mau mo-hon diri. Mohon maaf telah merepotkan keluarga bapak.” katku sopan.

”Ah biasa aja dik, sekarang mau kemana?”

”Ke Jakarta, mencari kakakku” ujarku.

”Jadi ke Jakarta?”

”Iya Pak.”

”Ya udah kalau begitu saya tak sanggup menghalangi niatmu yang telah bulat. Hati-hati di jalan. Oh tunggu sebentar!” pesannnya kebapakan sambil masuk ke rumah.

Pedal 9

Ikan Teri

Pak Khaerudin masuk ke rumah, beberapa saat kemudian be-liau keluar sambil membawa sebungkus nasi dan lauk  ikan teri serta memberiku uang Rp 10.000,-. Walaupun sedikit menurut orang de-wasa tapi bagiku Rp 10.000,- adalah uang yang banyak. Karena aku belum bisa mencari uang sendiri kala itu meskipun hanya sepuluh ri-bu bahkan seribu pun aku tak bisa.

Ucapan terima kasih tak lupa kusampaikan sembari pamitan dan menggenjot sepeda jengkiku.

”Assalamu’alaikum!”

”Wa’alaikum salam warahmatullahi wa barakatuh,” jawab beliau sambil melambaikan tangan.

Mentari belum menampakkan sinarnya. Udara dingin pagi masih be-gitu terasa. Sepeda jengkiku mulai berjalan perlahan-lahan menerobos berombolan kabut pagi. Gurat kelelahan telah berganti dengan semangat baru. Semangat yang timbul karena istirahat dan tenaga dari makanan yang diberikan Pak Khaerudin. Perbatasan Kec.Aryawinangun, Cirebon dengan Indramayu  telah kulewati. Para petani mulai mencangkul sawahnya. Ada yang sedang memupuk dengan pupuk Sriwijaya ataupun dengan pupuk Kujang. Kendaraan sedang ataupun angkot mulai berlalu lalang di jalanan yang sedang diperlebar ini. Diperlebar karena buat persiapan menyambut Hari Raya Iedul Fithri. Di mana saat itu jalanan akan penuh dengan rombongan mobil dan motor dari Jakarta yang akan mudik ke Jawa. Meskipun hari tersebut bisa dikatakan masih lama. Bahkan jalanan sepanjang pantai itu bener-bener baru mulai diperbaiki. Di mana di situ merupakan kawasan Rumah Makan Sea Food. Contohnya Rumah makan seafood ‘NIKI’. Karena jalan raya sedang diperbaiki itulah banyak debu beterbangan. Mereka dibawa angin ke barat, timur, selatan ataupun ke utara. Yang bandel biasanya ingin masuk ke mata orang-orang yang lewat sittu. Teermasuk mataku, meskipun aku kasih tanda dilarang masuk, tetap saja ia masuk di kelopak mataku. Mataku akhirnya menjadi merah oleh si debu bandel.

Kuperhatikan para pekerja yang bekerja tanpa mengenal lelah meskipun matahari bersinar dengan panasnya. Mungkin dalam benak pekerja mereka seolah-olah sedang berjemur seperti turis kali yaaa. Padahal mereka adalah kuli yang siap dimandi dengan debu dan pa-nas matahari serta aspal mendidih yang setiap saat sanggup menguliti epidermisnya.

Waktu telah menunjukkan pukul 10.00 wib. Satu jam beri-kutnya Kab.Subang mulai kutaklukkan. Ku isi botol air mineral de-ngan air kran dari masjid di Subang. Waktu dhuhur pun telah tiba. Buru-buru kuambil air wudlu. Seuasai sholat dhuhur di situ kulanjut-kan mengonthel sepeda jengki menyusuri jalanan Subang yang agak mendaki. Selain jalanan yang agak menanjak, tak ada pemandangan yang lain yang menakjubkan atau menarik mataku untuk melihatnya bahkan melirikpun segan mataku. Hanya Lokasi Pemancingan yang sekali kulihat papan Balihonya. Lumayan juga jalanan di Subang selain mulus dengan aspal juga tak ada Si debu Bandel yang pingin berlindung dan ngumpet di pelupuk mataku dari injakan ban mobil yang tak berperi keban-banan. Namun sebagaimana halnya sebuah kota/kabupaten yang mulai berkembang, di Subang juga mulai nampak perumahan penduduk yang mulai berdempet-dempetan. Yang menandakan Subang adalah sebuah daerah yang mulai terkontaminasi dengan model kehidupan tak teratur macam Kota Jakarta. Beberapa kali aku menghentikan kayuhan sepeda jengkiku sambil menyantap roti bolu persegi sisa kemarin. Termasuk kuembat nasi bungkus pemberian Pak Khaerudin dengan ikan teri sepesial bagi orang yang suka kabur dari rumah. Makanya kawan, pelajaran yang dapat kau ambil adalah jangan kau minggat dari rumah jika tak berbekal uang yang banyak, sebab jika kau bertemu orang yang baik ia akan mengasihimu dengan sebungkus nasi plus ikan teri.

Sholat ashar aku dirikan juga di Subang. Di mesjid berwarna putih. Aku lupa nama mesjid tersebut.

Semburat sinar jingga yang memancar merupakan pertanda maghrib segera menjelang, kupercepat kayuhan sepeda jengki biru tuk melalui kota Karawang dengan gedung-gedung tuanya. Gedung-gedung tua sisa peninggalan masa mempertahankan kemerdekaan dari hasrat kolonial Belanda yang belum puas menjajah NKRI selama 350 tahun. Dalam  hati aku bertanya, ”Inikah Karawang yang tertulis dalam buku pelajaran sejarahku semasa aku duduk di bangku SMP dulu?” Kawan, suasana zaman dahulu begitu terasa, sampai-sampai bulu ketekku berdiri sewaktu memperhatikan pemandangan itu.

3 kabupaten dalam sehari. Kuhitung perjalananku hari ini. Berarti 3 kabupaten ini luasnya melebihi 4 kabupaten yang aku be-namkan kemarin. Pemalang, Tegal, Brebes dan Cirebon. Dihari ke-dua  ini aku bermalam di Karawang, tentu di masjid kawan bukan di gereja atau pasar atau di kantor polisi atau kolong jembatan atau bahkan pasar. Tidak, tidak kawan. Di mesjid aku lebih merasa tenteram. Sebelum tidur aku sempet berdialog dan  meminta izin de-ngan marbot mesjid. Tapi di sini aku berbohong, kukatakan aku o-rang Indramayu yang ingin ke Cikampek. Padahal aku kan orang Pekalongan yang sedang tamasya. Jadi jangan ikut-ikut ya teman. Ikut-ikutan bohong dan kabur dari rumah tentunya. Jam 04.15 wib aku  sholat shubuh secara berjamaah di situ.

Dan hari ketiga, pagi-pagi buta aku kembali mengayuh sepeda jengkiku. Kota Karawang kususuri. Sedikit demi sedikit, semburat cahaya merah menerobos gerombolan awan putih yang seperti kulit domba gendut yang dirawat penuh kasih dan sayang oleh peternak domba yang rela tidur bareng domba tersebut dan rela tubuhnya se-lalu disemprot parfum aneh alias bau domba tersebut.

Hawa dingin berubah menjadi hangat. Perut yang kosong telah kuisi dengan roti kering dan seteguk air kran yang telah berpindah ke dalam botol aqua. Pikiran akan kampung Tunjungsari benar-benar telah lenyap, yang ada hanyalah jalanan panjang beraspal yang berkelok-kelok, naik dan turun. Sepeda jengki kugenjot sekenanya. Di ujung pandangan, di papan penunjuk jalan tertulis kota yang sering kudengar namanya jika waktu mudik telah tiba. Di mana para reporter TV sering berdiri di sana memberitakan tentang frekuensi kendaraan yang lewat di pintu tol tersebut. Cikampek. Ya Cikampek. Daerah itu kini telah di depan  mata. Jika aku  telah melewati kota tersebut kota berikutnya adalah Bekasi selanjutnya Kota metropolitan yang terkenal dengan WC terpanjang di dunianya (Kali Ciliwung) yaitu Jakarta. Meskipun termasuk Provinsi kecil namun karena merupakan  ibu kota NKRI Ja-karta menjadi daerah terpadat dan tujuan bagi siapa saja yang ingin merubah nasib dari kere menjadi konglomerat atau yang ingin tam-bah mlarat juga bisa. Akhirnya roda depan sepeda jengkiku menyu-suri pinggiran kali yang panjang. Kalinya sih keruh tapi masih tetap nampak keasliannya. Tidak seperti kali-kali di ibukota yang hitam akibat pencemaran limbah pabrik yang tak bertanggung jawab seperti yang sering kulihat di siaran  televisi ”DUNIA DALAM BERITA” di TVRI pukul 21.00 wib di rumah tetangga. Masjid berdinding warna biru dengan kubahnya yang menawan dan  megah menjadi saksi akan kebesaran Ilahi. Terowongan Cawang dengan lampu temeramnya ku-lewati. Tapi aku  lupa ke mana arah  rumah Mbak Mabruroh ya.

Belakangan kuketahui setelah sekarang aku tinggal di Jakarta dan bekerja di salah satu Pabrik Otomotif setamatnya aku dari STM. Sungai yang panjang di pinggir jalan yang kulalui itu adalah Sungai Kalimalang. Sungai yang sumber airnya diolah menjadi air yang ber-sih oleh Themes Pam Jaya lalu disalurkan ke rumah-rumah warga di Jakarta. Selanjutnya Masjid berdinding biru yang megah itu adalah Masjid Al-Azhar. Di mana aku telah beberapa kali masuk ke da-lamnya untuk kajian kitab dan bedah buku-buku Islam. Sunguh me-nakjubkan masuk ke Masjid yang besar itu kawan.

Memasuki terowongan penuh pedagang buah ’UKI’ aku  ta-nyakan  kebeberapa orang daerah Kampung Arafat Kel. Kebopala Kec. Makassar. Namun tak ada yang menjawab dengan pasti. Pada-hal nama daerah itu masih tertanam kuat dalam  ingatanku sewaktu aku masih duduk di kelas 4 MIM Tunjungsari dan pergi ke Jakarta bareng Ibuku dan tetanggaku  naik bus. Aneh apa mereka yang ndak tahu atau aku yang lupa. Entahlah. Untuk selanjutnya kucoba mena-nyakan area di mana Tukang Peyek beroperasi. Karena kakakku ada-lah seorang pedagang peyek. Tapi mereka malah lebih parah tidak ta-hunya. Dari tampangnya sih sepertinya mereka udah lama tinggal di Jakarta tapi kenapa mereka tidak tahu. Mungkin orang-orang tersebut hanya tukang ojek yang mangkal di situ tapi tak pernah keliling-keli-ling Jakarta atau tak pernah bergaul atau bersosialisasi. Kan orang kota itu individualis semua ya. Kawan kalau kau hidup di Jakarta ja-nganlah hidup hanya Pabrik-kontrakan bolak-balik tanpa bermasya-rakat atau  pasar-kontrakan pulang-pergi setiap hari. Cobalah ke mas-jid untuk jamaah dan ngobrol-ngobrol dengan tetangga barang sedi-kit. Biar nanti kalau ada yang nanya biar kau bisa jawab, Malunya kalau yang ditanyakan oleh orang yang bertanya padamu ternyata lo-kasinya di sebelah kita. Kan muka ini bisa gosong kayak dipanggang pakai pangggangan  sate Wusdi (Bapak Penjual Sate Kambing di Pa-sar Wiradesa, Pekalongan-Kalau kau penasaran cobalah mampir, di-jamin halal dan enak kata temen-temen sih-). Atau seperti pantat sra-bi (kue basah yang terbuat dari tepung beras lalu diaduk-aduk secara sembarangan dengan sodet bersama parutan kelapa lalu dicetak dan  dipanggang diatas sangan (gerabah berbentuk mangkok yang terbuat dari tanah liat) hingga matang dan cara makannya di siram dengan santan yang gurih) yang lupa diangkat dari cetakannya. Karena saking malunya.

Beberapa kali daerah itu aku putari dan kelilingi namun area para begundal peyek tak kunjung kudapati. Jam 10.00 rumah Pak Waryudi kutemukan. Padahal Jakarta khususnya daerah Kebonpala telah kuinjak-injak selama 2 jam. Artinya selama  itu aku berputar-putar. Terowongan UKI yang sebenarnya bukan nama terowongan i-tu sebenarnya  melainkan karena di sebarang jalannya berdiri UNI-VERSITAS KRISTEN INDONESIA ( UKI ) dan jalur  TRANSHA-LIM ( Jalur transportasi angkutan menuju Bandara Halim Perdana Kusuma ) menjadi area yang paling subur seandainya aku adalah see-kor kerbau yang membajak sawah dan akan menjadi pakaian yang paling licin jika aku adalah sebuah  setrikaan.

Karena semua orang di Pabrik Peyek Pak Waryudi yang me-rupakan Bos kakakku Mbak Buroh pada sibuk maka aku hanya di-tunjukkan jalan ke kontrakan Mbak Buroh dan disuruh tanya-tanya nanti di sananya. Ternyata tak disangka dan tak diduga serta tak di-nyana, arah kontrakan Mbak Buroh adalah belok kanan jalur TRANSHALIM dari jalan yang aku putar-putari sampai 5 kali itu. Tadi pagi aku belok kiri di pertigaan Kampung Arafat, pantaslah kalau tak ketemu.

Pedal 10

Maag

Mata melotot dan tubuh kaku berdiri. Itulah keadaan Mbak Buroh yang dipanggil Mbak Ndiroh jika di Jakarta ketika melihatku. Apalagi aku datang dengan menenteng sebuah sepeda jengki. Datang ke Jakarta itu biasanya membawa oleh-oleh entah buah atau makan-an. Boro-boro bawa oleh-oleh buah, malahan yang dibawa hanyalah  seonggok besi sepeda jengki. Bagaimana tidak tercengang dan terhe-ran-heran. Tak ada hujan tak ada angin apalagi badai lebih dari tak ada. Wong angin saja seolah-olah berhenti bertiup menyambut keadaan diriku. Kawan, Pekalongan-Jakarta tidaklah dekat ± 400 km. Jarak sejauh itu kini telah kutaklukan dengan sepeda jengki yang kugenjot selama 3 hari dengan 2 malamnya aku tidur. Tanpa bekal dalam tas ataupun perlengkapan lainnya. Aku hanya bermodalkan nekat kawan. Bekal yang ada hanyalah botol aqua yang berisi air kran dan berulang kali tumpah ke tenggorokan. Sesudah itu diisi kembali dengan air kran dari masjid-masjid yang kusinggahi. Berbekal Rp 20.000,- tubuh ini sampai ke Jakarta. Alhamdulillah hujan selalu absent selama perjalanan petualangan ini. Alhamdulillah juga ban sepeda jengkiku tak mengalami kebocoran di tengah jalan. Coba jika bocor sempet mampir, mau kusuguh apa tamu yang tak diharapkan ini. Kawan, di sinilah letak kekuasaan Allah yang masih mau beserta hambanya yang lemah dan durhaka ini.

Cerita panjang kali lebar telah menjadi luas. Keliling dan vo-lume tak luput keluar dari mulut bau kecut ini. Semua tentang kejadian kenapa aku bisa sampai ke sini dengan sepeda jengki ini  telah ku ceritakan.

Kakakku bangkit. Entah mau ke mana dia. Aku mengikuti dari belakang. Tak terbersit dalam rumus dugaanku, ternyata beliau  menuju  ke sebuah wartel di belakang kontrakannya yang dibangun tanpa aturan dan tanpa pe-rencanaan serta tanpa memperhatikan nilai-nilai estetika ini. Kon-trakannya tidak seperti perumahan-perumahan atau gedung mall-mall yang sombong dan angkuh yang berdiri di setiap Kecamatan di Ja-karta. Kontrakan kakakku tidak pantas disebut rumah sekalipun un-tuk kategori RS6 (Rumah Sangat Sederhana Sekali Selonjor Saja Su-sah). Malahan lebih pas jika disebut Kandang Ayam karena memang ada beberapa ayam yang dipelihara teman kakakku satu kontrakan.

Sopo sing Njenengan telpon Mbak?”1 tanyaku  dalam  logat Jawa

“KangIbun!” jawabnya pendek

Lha opo sampeyane ra pamit karo Simak lan Bapak?”2 sambungnya

Nek aku pamit yo mesti ra oleh ra Mbak.”3

Pirang ndino kowe numpak pit kok nganti geseng rumpeng koyo kuwi raine?4

Telung dino rung wengi Mbak, kenopo?5

Masmu  kuwi6 si Roghibun (nama panjang Kang Ibun kakak ketiga-ku dari 8 bersaudara) wis mider-mider ngkluru kowe. Masmu kuwi ugi nganti tego ninggalke dodolan tempene ning Ngkebumen mung kanggo ngkluru kowe , reti ora!7 cerocosnya

Jare areng nggon kancamu sing Mpetukangan. Terus kerono rak ono Masmu dituduhi koncomu sing liyo sing ning Ndungwuni. Lha kerono podo bae rak ono ning kono. Terus masmu lapor Polisi bar njaluk izin reng Simak, Simake dewe nangis terus 3 ndino rung wengi karo ngomong”Lha akune iki salah opo. Wong bocah anteng-anteng kok moro-moro ilang, lungo ora pamit. Eh alah bocah diurus bener-bener kok koyo kiye.” 8ceritanya yang ia kabarkan setelah  menelepon Kang Ibun  tadi.

Ndung (panggilan sayang terhadap anak kecil/adik laki-laki) opo kowene ora ninggal tulisan?9

Aku ninggal tulisan sih Mbak tapi tak sog ke neng mburi foto wisuda TPA-ku10

Nun jauh di Pekalongan kabar hilangnya diriku telah berganti jadi judul cerita ”Petualangan bersepeda ke Jakarta”. Cerita tersebut menyebar dengan cepat secepat kilat menyambar pohon kelapa dan  luas seluas samudera hindia dan pasifik dari mulut ke mulut seantero Tunjungsari. Seandainya di desaku ada Koran, maka dongeng ini a-kan menjadi Headline News-nya dengan judul yang lebih variatif ” Beli Ballpoint ke Jakarta dengan Bersepeda”. Semuanya seolah tak percaya. Bagaimana mungkin orang sealim aku bisa melakukan hal itu. Maklum, aku dikenal masyarakat sebagai orang yang taat bera-gama dan beribadah, aktif di organisasi remaja, pendiam dan berbakti pada orangtua. Bagaimana tidak berbakti, disaat anak-anak yang lain sibuk main bola aku malah sibuk ngarit suket 11 untuk kambingku saben sore yang suatu saat wedus gembel itu berjasa bagi diriku. Namun karena ngarit itu juga jariku menjadi tumbal buat sabit. Jariku pernah kebabat sabit yang kugunakan untuk mencari rumput itu. Disaat yang lain kalau disuruh belanja ke warung pada tidak mau dengan alasan malu dan acara TV-nya masih seru, aku malah semangat berangkat meskipun tanpa diberi upah. Kadang aku disuruh membeli sayur, cabai, merica, minyak goreng ataupun minyak tanah. Membantu memasak dan membatik adalah kegiatan rutin yang aku laksanakan sebagai hobi meskipun itu adalah kegiatan perempuan. Ke sawah dan ke ladang sepulang sekolah atau pada hari libur menjadi hiburan dikala tugas sekolah menumpuk bikin pusing kepala. Ya mencabut benih padi yang akan ditanam, ngemal (membuat garis pembatas dengan benih tanaman padi guna menjadikan tanaman padi menjadi rapi). Alat mal terbuat dari bambu yang dibelah lalu ditandai dengan cat merah atau tali rafia yang di ikatkan ke bambu dengan jarak 25 cm antara cat satu dengan yang lain. Tempah (melayani dan membagi-bagikan benih kepada tukang tandur yang biasanya para kaum wanita sedang tukang tempahnya biasanya laki-laki) juga matun (mencabut rumput/hama tanaman padi macam IR64, sadan, muncul ataupun ketan. Waktunya biasanya setengah bulan setelah benih di tanam. Tapi kalau pandan wangi tak dibudidayakan di kampung kami). Dan jika waktu musim panen maka aku akan ditugasi menjemur padi itu hingga kering dan membawanya ke pabrik penggilingan padi kepunyaaan Pak H.Baedlowi. Bersepeda ke sekolah menjadi ciri baktiku berikutnya kepada orangtua. Maksudnya dengan ber-sepeda aku bisa menghemat uang ya itung-itung sambil olah raga dan menghambat laju polusi udara serta berpraktek ria tentang ilmu kesederhanaan yang diajarkan Rasulullah SAW, teman. Menyapu halaman dan mengaji di tempat Pak Ridlwan hampir menjadi santapan saben sore dan malam hari. Itulah gambaran tentang diriku dari luar yang tampak oleh orang-orang di sekitarku. Sehingga dengan keadaan seperti itu pujian dari masyarakat terhadapku tak pernah surut. Dan akupun tertantang tuk membuktikan bahwa aku memang seperti yang mereka puji yaitu anak yang rajin, sopan, berbakti dan sederhana. Namun isi hatiku dan pikiranku mereka tak mengetahuinya hanya aku dan Allahlah yang tahu, bahkan Allah lebih tahu tentang diriku karena memang Ia adalah Tuhanku yang  Maha Tahu. Di sinilah keadaanku sekarang yang telah berubah 180 derajat ditambah 23.5 derajat lintang utara dan 12.8 bujur barat dari aku yang tampak dan  hadir di masyarakat Tunjungsari.

Kembali ke Jakarta. Karena tak mambawa bekal apa-apa se-lain sepasang baju yang menempel di badan, Mbak Buroh meminjam baju Amri- anak Mak Awi teman Mbak Buroh di Jakarta yang ting-gal di Jalan SD INPRES Kp. Usman Harun-.Seminggu aku di Jakarta menemani Mbak Buroh jualan peyek kalau  pagi di Pasar Jambul, Ci-lilitan dekat RSUD Budi Asih di bilangan Jalan Dewi Sartika. Men-dorong gerobak pagi-pagi buta sejauh 2 km melewati Jembatan Tol Jagorawi (Jakarta-Bogor-Ciawi) lalu turun menyeberang jalur Tan-jungpriok-Cililitan dan terakhir masuk Pasar Tradisional Jambul. Menyeberang jalanan  raya padat mobil-mobil dan bus-bus besar itu kami berjualan dari pagi hingga siang hari disaat matahari berada di ubun-ubun kepalaku. Kalau malam  kami mengetap alias menata pe-yek yang akan dijual esok hari ke gerobak di tempat Bosnya’Pak Waryudi’. Gerobak beroda 2 berbahan seng sederhana itulah saksi perjuangan hidup kakakku selama berpuluh tahun mengais rezeki da-lam kerasnya kehidupan  ibukota. Yang kata orang kejamnya ibukota lebih kejam dari kejamnya Ibu Tiri. Serta membungkusi rempah-rempah dan bumbu-bumbu basah macam terasi, ketumbar, merica dan asem juga ikan teri yang beliau hutang dari Simbok ”Teman jualan kakakku di pasar yang telah lanjut usia”. Kulit gosongku yang kepanasan selama 3 hari mulai mengelupas seperti ular yang hendak berganti kulit. Karena suasana Jakarta telah kuadaptasi ke badan ke-rempeng. Anehnya demam atau flu tak mampir ketubuh ini meskipun dijemur di terik sinar matahari bercampur sinar ultraviolet yang tem-bus ke bumi akibat ozon yang berlubang diserbu gas karbon dioksida dan  monoksida dari asap kendaraan bermotor serta asap pabrik dan juga asap rokok yang menjamur di sejagad Jakarta.

Dari kehidupan selama seminggu bersama kakakkku di Jakarta kutemukan segelintir arti perjuangan hidup menemukan jati diri dan mengangkat gengsi. Aku banyak belajar dari kakakku Mbak Buroh. Darinya yang dulu aku minta dibelikan cokelat ‘Silverqueen’ kalau beliau pulang dari Jakarta. Padahal harganya mahal namun ia tetap membelikannya. Baginya kebahagiaan adiknya lebih ia senangi dari uang yang jika habis dapat dicari lagi. Begitulah alasan yang utarakan. Darinya juga aku dulu meminta supaya dibelikan “Tas Gendong” untuk membawa buku-buku paket tebal yang dibuat oleh penerbit yang tanpa menghiraukan kecilnya tas pelajar miskin macam aku ini hingga dalam hitungan  menit begitu dimasukkan ke dalam tas lalu tas dicangklong ke pundak terus dibawa lari dan akhirnya putuslah cangklongan tas anak itu di tengah jalan. Dan yang terjadi berikutnya adalah si anak merengek sambil menangis minta dibelikan tas gendong baru yang kuat dengan alasan jika membawa buku-buku tebal tak karuan itu tasnya tak putus lagi. Di situlah kedermawanan kakaku, ia pun membelikannya dengan merek ”Alpina” warna coklat. Sebuah tas yang bermerek dan mahal. Padahal kala itu barang dagangan andalannya ”PEYEK” sering tak laku dan seandainya lakupun paling berkisar 5-10 bungkus. Sedangkan harga perbungkus adalah Rp 4.000,- dengan setoran Rp 30.000,- perhari. Artinya ia hanya hidup  Rp 10.000,- perhari. Sebuah ukuran ekonomi yang fantastis dan jauh dari ukuran hidup sejahtera untuk ukuran kehidupan di Jakarta. Kawan kau pasti tahu harga-harga sembako kala itu kan. Di sinilah kutemukan  rasa sayang yang begitu luar biasa dari seorang kakak bermata satu ini. Darinya kuambil hikmah dan ibroh dari sebuah derita yang dialaminya semenjak kecil akibat penyakit yang aku tak mengalaminya. Ia sendiri pernah kuanggap sebagai seorang tamu tak dikenal yang datang dari Jakarta karena waktu  kulahir ia telah di Jakarta dan jarang nongol di rumah. Yang sering pulang hanyalah barang-barang dan kiriman uang untuk orang tuaku. Di keluargaku bisa dikatakan ia yang paling menderita tapi jiwanya yang paling tegar. Disaat Kakak pertamaku Mbak Mud dilangkahi (didahului menikah) oleh adiknya Kang Ibun yang menikah dengan Mbak Puji di Kebumen. Dan kala itu Mbak Mud sedih dan bingung seperti orang stress dan bisa dikatakan mengidap penyakit gila nomor 13 seperti kata Andrea Hirata dalam novel Laskar Pelanginya karena tak sanggup menghadapi kenyataan. Di waktu itulah Mbak Mabruroh datang bak malaikat kepagian menghibur sambil menawarkan kabar gembira bagaimana kalau Mbak Mud ikut ke Jakarta? Seketika itu pula Mbak Mud bagai disiram air salju ubun-ubunnya. Padahal untuk mendatangkan saljunya saja susah bangetnya minta ampun.

Ia juga pernah ketipu orang. Segepok uang yang  ia kumpulkan di celengan ayam jagonya yang terbuat dari tanah liat selama beberapa bulan diserahkan kepada sang penipu yang tak tahu adat mencari rizki secara suka rela. Katanya sih beliau seperti di hipnotis, begitu. Namun gurat penderitaan dan pengalaman hidupnya menguatkan keimanannya tuk terus bertahan dan berjuang meneruskan hidup dengan hasil jerih payah dan  keringatnya sendiri. Sepasang sepatu yang tak tanggung-tanggung bermerek Eagle warna biru menjadi hadiah berikutnya yang tersampaikan dari tangan wanita pekerja keras dan  hanya bertinggi 145 cm ini kepadaku. Ia wanita yang kokoh dan jauh dari kesan pesimis, lembek serta pemalas.

Dan suatu sore ia mengalirkan segayung air mahal dari ujung matanya yang tinggal sebelah. Ia menceritakan pedihnya hidup di Ja-karta sendirian. Kakinya tertusuk “Paku Karatan” yang kangen  pi-ngin menusuk karena lama tak digunakan oleh tukang kayu untuk mengait kusen-kusen pintu dan jendela. Infeksi siap mengancam ji-wanya, meskipun si paku tadi sudah dicabut dari kaki mungilnya na-mun sisa karatannya belum bersih benar tuk minggat dari daging sikil 12nya. Uang tak ada. Dagangan seminggu ini tak menghasilkan apa-apa selain buat makan dan setoran serta capek dan pegal-pegal. Pada-hal ia butuh ke dokter untuk berobat. Beginilah susahnya jadi orang miskin. Mau berobat saja bingung. Sedangkan bagi mereka yang ber-uang jerawatpun diurusnya meskipun harus pergi berobat sampai ke Singapore segala. Ia mengambil silet. Digunakannya silet tersebut untuk membelek (menyobek) dan mengoperasi telapak kaki mininya supaya bisa dibersihkan si bangsat karatan paku yang betah tinggal di kaki kanannya itu yang telah menemani perjuangannya. Dikorek-koreknya telapak kaki kecil itu dengan cottonbuds yang diolesi dettol dengan harapan begundal karat mau hijrah ke tempat aslinya. Karena bengkak, ia tak bisa jualan PEYEK selama setengah bulan digantikan Kakak ketujuhku Mbak Muk yang datang dari Depok. Tentu hasil dagangannya merosot terjun bebas ke jurang kerugian dan kebangkrutan. Begitu ceritanya kawan, kalau kau ingin menangis menangislah sebelum menangis itu dilarang, tapi kalau kau tak mene-teskan si mutiara air mata berarti hatimu memang terbuat dari batu pualam. Salah, batu yang paling keras pokoknya atau memang ceri-taku yang tak sanggup mengundang air tadi.

MAAG. Hari itu ia demam. Perutnya sakit laksana ditusuk duri dan jarum karung goni (karung beras tebal biasanya warna cokelat). Matanya berkunang-kunang, bagai melihat bintang disiang hari berputar-putar di atas kepalanya. Pusing tak tertahankan. Sakit maag akutnya kambuh. Ia tiba-tiba pingsan  jatuh tak sadarkan diri di meja dagangannya di Pasar Jambul lorong paling timur. Teteh ’PEDA-GANG NASI’ di pasar yang mangkal persis di depan kakakku berju-alan yang merupakan sobat kakakku membantu menyadarkannya de-ngan menggoyang-goyangkan badannya namun tak kunjung bangun si Kakak. Digosok-gosoknya perut wanita kecil ini dengan balsem hingga habis satu botol balsem merek ”RHEUMASON” warna me-rah. Tapi kakakku belum juga sadar. Kakinya juga digosok-gosok dengan minyak kayu putih merek ”KAMPAK” yang terkenal se-ngatan panasnya, tapi belum juga ada tanda sadar atau siuman dari kakakku. Dikipasinya dengan kipas angin merek ”Maspion” tak tang-gung-tanggung langsung pada putaran 3 yang merupakan putaran pa-ling kuat. Itupun tak ada pengaruhnya. Sekujur badan  kakakku dipi-jat dan diurut sekenanya oleh orang-orang yang merasa sanggup memijat ntah laki-laki maupun perempuan dari ujung kaki sampai ujung kepala. Dengan harapan kakakku sadar. Semua usaha yang dilakukan seolah seperti kapur barus yang menguap tak berbekas di-hisap angin pasar bercampur aroma ikan  asin bau amis. Empat jam sudah kakakku  tergeletak tak ada gerak laksana  mayat atau pasien UGD yang mengalami koma. Mungkinkah kakakku telah meninggal, dirabanya denyut nadi tangan kakakku oleh Teteh. Tapi katanya ma-sih berdenyut. Dasar orang pasar berpendidikan rendah, melihat o-rang pingsan lama bukannya dibawa ke dokter malah didiamkan. Terbersit ide dari Pak Ali ’Suami Teteh’. Larilah ia ke belakang wa-rung mengambil seember air. Semua orang berteriak… Jangan Pak Ali………… kasihan…., tanpa menghiraukan teriakan orang-orang di situ disiramkannya itu air sehingga tumpahlah seember air bekas cucian piring ke muka wajah kakakku. PPYYAARRRR…..dan seketika itu juga kakakku bangun sambil tergagap.

Begitu sadar, langsung saja dia bertannya, ”Apa yang terjadi, Teh?”

“Tadi kamu pingsan selama 4 jam.” jawab Teteh.

Dan yang dirasakan  kakakku  setelah itu hanyalah pegal dan masuk angin. Ya, karena dikipasi angin ”MASPION” tingkat 3 sela-ma ¼ jam serta perut yang kembung akibat kedinginan terkena si-raman air cucian piring Pak Ali, Sekujur tubuhnya juga panas karena olesan balsem ”RHEUMASON” warna merah yang tak karuan oleh Teteh dan orang-orang sepasar.

Segelas teh hangat diminta oleh Teteh supaya kakakku  me-minumnya segera supaya badan kakakku segar kembali. Kawan ku-seka dulu ya air mataku, aku tak kuat membayangkan semua itu. Ti-dak sekedar itu aja sobat, ia juga cerita pada suatu malam sepulang mengetap pukul 03.00, ia hendak diperkosa preman Ambon yang mabok. Mungkin akibat minum wiski rasa baygon terlalu banyak kali yaa. Namun karena badannya yang kecil tak sulit baginya tuk meloloskan diri.

Penderitaan selanjutnya yang ia ceritakan padaku adalah ten-tang pernikahannya. Pernikahannya dengan orang Jogja tahun 1998 gagal total. Suaminya meninggalkannya pada minggu ketiga. Selain karena memang orangnya tak cocok dengan keluarga kami mungkin juga akibat kata-kata pengusiran. Bahkan kata-kata pengusiran dari rumah ayahku di Pekalongan, aku yang melakukannya.”Pokoke wong kae13 (Suami Mbak Buroh) kudu lungo dek kene 14 (rumah o-rang tuaku)” Begitulah kata-kata yang keluar dari mulutku. Kala itu aku masih SMP. Kata-kata itu keluar karena adanya perasaan seorang anak yang tidak suka terhadap seseorang. Dan kata-kata itu keluar se-kenanya tanpa memperhatikan etika berbicara dan sambil teriak lagi, walaupun sebenarnya aku sudah tahu sopan dan santun serta adab berbicara. Namun Mbak Buroh memakluminya, karena memang la-ki-laki tersebut tak bertanggung jawab atas kakakku. Nafkah lahir ti-dak diberikannya, kerjapun juga tidak. Menurutku dia pemalas serta kurang waras. Entah kenapa ia bisa menikah dengan kakakku yang tegar dan pekerja keras. Ternyata Si laki-laki kurang genap itu di-nikahkan oleh kakaknya (sahabat kakakku) yang merengek-rengek kayak bayi minta ASI pada Ibunya di dengkul Mbakku yang hatinya mudah trenyuh supaya Mbakku mau menikah dengan adiknya yang hanya 99 itu. Beberapa minggu setelah pernikahan adiknya dengan Mbak Buroh, kakak suami Mbakku yang bernama Mbak Umi kabur dari kontrakan kakakku. Ia kabur dengan membawa barang-barang berharga milik kakakku termasuk ”Sendal Jepit” warna biru muda merek ”SUNLY” yang baru sehari sebelumnya dibeli dari warung sebelah. Ia pergi tak sendirian, tapi bareng suami kakakku yang pi-kirannya kurang 1 strip supaya bisa dikatakan tidak menderita pe-nyakit gila no. 40 begitu kata Andrea Hirata dalam novel tetralogi ”LASKAR PELANGI” nya. Tak cukup sampai di situ penderitaan kakakku. Namun alhamdulillahnya, pernikahan penuh kekonyolan itu tak merenggut keperawanan dan orisinilitas kakakku. Kenapa bisa begitu? sebab saat pernikahan itu kakakku sedang dalam keadaan datang bulan alias menstruasi atau kedatangan tamu yang tak diundang namun tetap nylonong pingin datang. Sedangkan dalam syariah Islam, saat sang wanita sedang haid si kumbang tidak boleh menjamah sutra kebanggan sang ratu. Dan biasanya kakakku jika ta-munya datang masanya adalah 2 minggu dan pada minggu ketiga se-telah hari pernikahan suami kakakku pas sedang balik ke Jogjakarta. Sehingga daripada itu kakakku  tetap virgin belum tersentuh oleh le-laki dungu itu. Tahun 2002, kakakku resmi bercerai dengan sua-minya. Dengan sidang tanpa kehadiran pihak lelaki yang tak jelas ba-tang kakinya bahkan jejaknya yang bau terasi juga tak tercium wa-laupun kita berdiri sejengkal darinya.

Pedal 11

Kacang Atom Garuda

Kawan karena penderitaan yang dialami kakakku semenjak balita (bawah lima belas tahun) sampai sekarang ia menjadi orang yang minder atau bahasa gaulnya rendah diri dan tak PEDE (percaya diri) bahkan untuk bertemu kambing ayahku pun dia malu. Padahal kambing kan tak punya akal ya kawan. Makanya begitu Kang Ibun menyuruh  kakakku Mbak Buroh untuk pinjam  uang ke tempat Pak Zaeni, saudara sepupuku yang merupakan seorang pedagang tempe yang sukses yang tinggal di Buaran 1, Klender, Jaktim ia tidak lang-sung berangkat malahan bingung. Padahal Kang Ibun telah menjamin bahwa ia akan mengganti uang pinjaman sebesar Rp 100.000,- itu. Apalagi Kang Ibun telah menelepon Pak Zaeni, katanya. Uang pin-jaman itu sebenarnya direncanakan untuk biaya pemulangan paket nyasar yang ia terima dan bikin repot Mbak Buroh saja, yaitu ke-datangan si bungsu Ibnu Thoha untuk dikembalikan ke Pekalongan. Karena Ibuku sudah tak tahan ingin bertemu si kecil yang telah tum-buh menjadi perjaka nan lumayan handsome ini.

Allah Tuhanku ternyata lebih tahu tentang keadaan hambanya. Di saat Mbakku bingung apakah ia memang harus meminjam uang ke tempat Pak Zaeni yang kaya itu atau bagaimana, Allah men-dengar desingan gurindam keluhan Mbakku. Ia kirimkan rizki tak terduga lewat seorang pengamen gadungan yang tak lain dan tak bu-kan adalah teman satu kontrakan mbakku, Mbak Sari. Kenapa kuka-takan pengamen gadungan? jawabnya karena ia tak setiap hari men-jadi pengamen tapi ia akan jadi pengamen jika dalam keadaan  kepe-pet atau lagi ada mut serta jika diperintah sang suami yang bekerja sebagai penjaga dan perawat TPU ( Tempat Pemakaman Umum ). Mbak Sari bersedia meminjamkan uang sebesar yang diharapkan ka-kakku yaitu Rp 100.000,-. Uang itu merupakan gaji suaminya selama sebulan. Padahal kawan kalau kau pingin tahu uang tersebut renca-nanya akan digunakannya untuk membayar kontrakan bulan ini serta uang makan selama 2 minggu serta jatah si Jengger, ayam jago kesa-yangan suaminya yang disimpan dan tidur bareng sekontrakan di kamar seukuran 2.5 x 4 m itu. Dan kawan kau juga harus tahu keikh-lasan  teman kakakku ini karena jatuh tempo bayar kontrakan adalah tinggal 4 hari lagi. Uang kontrakan sebesar Rp 100.000,- dibagi bare-ng kakakku 1/3 nya.

Untuk meyakinkan Mbak Sari kakakku bilang, ia hanya pulang mengantarkan aku dan menghadiri pernikahan kakakku yang lain ”Qorob (kakak ke-6)” di Kebumen selama 3 hari. Dan pada saat hari jatuh tempo ia akan mengembalikan uang tersebut. Sebab Kang Ibun yang rizqinya alhamdulillah lancar telah menjanjikan untuk menggantinya. Teman, hikmah selanjutnya dari petualangan ber-sepeda ke Jakarta adalah Jika kau tinggal di Jakarta carilah teman  yang dapat kau pinjam uangnya disaat kau sulit dan tidak meminta / meminjam  apapun disaat kau senang.

Rencananya aku akan  pulang naik kereta. Transportasi yang dari dulu aku idam-idamkan  untuk menaikinya. Transportasi yang berjalan di atas 2 besi sejajar yang tak pernah mengalami kemacetan kecuali terjadi kecelakaan. Transportasi yang kami hitung jumlah gerbongnya dari belakang rumah sambil makan siang sepulang Jum-’atan di pinggir sawah seraya melihat jamaah Nahdliyin yang sama-sama juga baru pulang dari Jum’atan dan sambil menikmati ham-paran tanaman padi hijau yang sedang menari indah karena tertiup angin yang berhembus sepoi-sepoi. Serta mendengarkan nyanyian  katak yang saling bersahutan. Lalu diringi gesekan biola ala bambu yang tertiup hembusan angin sawah. Tak lupa kukabarkan rencana i-ni pada Ibuku di Pekalongan. Besoknya tanggal 29 Januari 2003 tepat pukul 06.00 pagi waktu Indonesia bagian barat, aku dan Mbak Buroh pergi ke Pulogadung untuk berangkat naik bus jurusan ke Ke-bumen. Ke Kebumen karena kami akan menghadiri pernikahan Kang Qorob pada hari kamisnya tanggal 30 Januari 2003. Pulogadung merupakan salah satu terminal bus antar kota antar propinsi (AKAP) besar di bilangan Jakarta Timur. Kami ke sana naik ojek biar cepat sampai. Rencana naik kereta api untuk pertama kalinya harus ditunda sampai waktu yang belum ditentukan alias dibatalkan. Karena ongkos kereta api bisnis lebih mahal dari ongkos bus. Sedangkan anggaran  Rp 100.000,- kami tak sanggup tuk menjangkau biaya kereta api yang per kepala dihargai Rp 65.000,- kala itu.

Bus AKAP yang kami pilih mereknya seperti toko electronik di Wiradesa ”SINAR JAYA”. Sedang jurusannya adalah PORTUGAL ” Purwokerto sebelahnya Tegal ”. Belakangan kuketahui kalau mau ke Kebumen langsung dari Jakarta harusnya naik angkutan langsung bus jurusan Jogja. Maksudnnya Jakarta-Jogjakarta yang bernama “P.O Sumber Alam”. Namun karena untuk ke Kebumen tepatnya Karanganyar Mbak Buroh kurang berpengalaman ya yang dia pilih Jurusan Jakarta-Purwokerto setelah mengorek cara pergi ke Kebu-men dari teman-temannya. Sedang aku adalah seorang prajurit yang nunut 15 apa kata perintah Jenderal. Makmum yang mengikuti ge-rakan Imam. Dan kuli yang mau disuruh-suruh bos. Aku  hanya diam 111.111.111 kata. Karena memang aku tak tahu  menahu  tentang bus atau  kereta yang mau berangkat dari atau balik ke Jakarta.

Dalam perjalanan Jakarta-Purwokerto silih berganti orang naik dan turun. Kukira mereka penumpang jarak dekat, ternyata bukan. Dan anehnya meskipun mereka sama-sama naik bus tapi mereka tak bayar. Heran aku, kok bisa ya naik bus ga bayar. Kakakku mau naik bus harus nyari pinjaman ke temannya, seratus ribu lagi. Kan berarti mahal naik bus itu. Ini malah naik turun tidak ditarik ongkos sama kondektur seolah merupakan cs-nya. Ternyata orang-orang tersebut adalah para pedagang asongan, pengamen, pengemis dan peminta sumbangan. Pedagang asongan menjajakan tisu, air meneral kemasan botol dan cup, rokok, permen, gorengan, donat, buku, koran, buah, lontong, handuk kecil, teh kotak, ikat pinggang atau gesper, kipas bambu, cd (compact disk kawan bukan celana dalam), topi, senter kecil, mainan anak-anak, boneka dan yang terakhir adalah ballpoint, barang yang mengingatkanku akan penghianatan sang anak pada orang tuanya. Mereka senang kalau ada yang membeli barang dagangannya. Tapi mereka ternyata lebih senang lagi kalau disuruh teriak-teriak. Suaranya yang nyaring seperti ember pecah yang jatuh dari atap rumahku membuat suasana bus begitu ramai tak terba-yangkan dan memekakan telinga. Mereka saling bergantian berteriak, berkoar, berkokok serta mengaum atau melolong seperti serigala untuk menawarkan barang dagangannya.

“AQUA….AQUA….QUA…QUA…………………………………”

“Aqua Bu…Aqua Mas…Aqua Mbak…Aqua Pak….Cuma Rp 1000,- kok pak.”

Waktu itu harga aqua memang masih Rp 1000,-. Lain air mineral lain pula koran dan yang lainnya.

“KORAN-KORAN… TAHU..TAHU…TARAHU…TARAHU…IKAT PINGGANG…IKAT PINGGANG…SUNLIGHT…SUNLIGHT… CUMA 1000 RUPIAH…HANDUK.. HANDUK… GORENGANNYA PAK BU MBAK MAS DIK …”

“Mau nukar uang mas, Rp 100.000,- Cuma Rp 110.000,- kok mas-..murah..” kata mbak-mbak sang juragan moneter.

Berbeda dengan pedagang asongan, para pengamen punya cara tersendiri dalam usaha menghibur para penumpang yang tak butuh hiburan ini. Mereka ada yang mengamen bawa gitar, ada yang bawa kendang, ada pula yang bawa icik-icik (Semacam alat musik yang terbuat dari lempengan seng yang dibentuk setengah lingkaran lalu dibubuhi banyak tutup botol “COCA COLA” yang dilubangi dan di-rangkai pada  seng tersebut menggunakan paku yang diambil dari si-sa proyek atau yang terbuat dari bambu yang juga ditempeli tutup bo-tol ”SPRITE” dan disusun berbaris rapi seperti tentara mau perang di ujung bambunya sedang sisanya buat pegangan). Mereka memainkan icik-icik dengan dipukul-pukulkan ke paha mereka. Sampai kalau habis pulang mengamen paha mereka merah memar seperti daging sapi qurban Idul Adha dan sakit tak tertahankan. Atau mereka memukulkannya ke telapak tangan kiri mereka hingga terbentuklah sebuah nada yang tak karuan bunyinya. Dan sambil membunyikan icik-icik itulah mereka menyanyi ngalor ngidul ngetan ngulon 16. Sedang untuk yang menggunakan gitar mereka biasanya lebih jelas nada dan melodinya, meskipun sambil menyanyi. Secara bergantian para pengamen dengan berbagai lagu bergantian naik turun menyertai bus Sinar Jaya yang mulai membelah kota Jakarta menuju Bekasi lalu tol Cikampek terus melaju Karawang-Subang-Indramayu-Cirebon-Brebes belok kanan ke arah Purwokerto. Lagu-lagu mereka kadang ada yang enak tapi tak jarang kita mendengar lagu yang tak jelas iramanya temponya ataupun melodinya. Jika telah selesai mereka jalan dari tempat duduk depan ke tempat duduk penumpang paling belakang sambil menjulurkan kantong bekas permen ”MENTHOS” untuk meminta sedikit sedekah dari penumpang yang baik hati dan dermawan. Yang baik hati biasanya akan memberi Rp 1000,- tapi yang sedikit baiknya atau kurang baik paling yang keluar recehan cepek (Rp 100,-) dari dalam kantongnya. Meskipun ketika mengambil dari kantong ada pecahan Rp 50.000,-, ada Rp 20.000,-, ada Rp 10.000,-, ada Rp 5000,- dan seribuan.Tapi yang mereka cari pasti yang paling kecil nominalnya bahkan kalau perlu jika masih ada uang recehan Rp 25,- mereka akan memilih opsi yang terakhir. Sayang uang kecil bergambar burung emprit alias pipit itu telah lenyap dari peredaran. Dikarenakan kebijakan moneter Bank Indonesia yang tak lagi menerbitkan si logam kesukaan penumpang yang sedikit baik hatinya itu. Yang aneh adalah aku. Karena tak kudapati recehan logam di kantong baju dan celana serta di dalam tas Mbak Buroh, maka kuserahkan saja sebungkus ”KACANG ATOM MEREK GARUDA” yang kubeli dari salah satu pedagang asongan tadi.  Kan nilainya Rp 250,- lebih besar 10 kali lipat dari Rp 25,- betul kan kawan. Diapun menerimanya sambil cengengesan menampakkan giginya yang hitam dan tonggos itu akibat sering menghisap tembakau yang dibungkus papir atau kelobot (kulit jagung ) alias rokok. Itu baru pengamen, lain lagi dengan pengemis. Mereka mengemis ada yang memang bener-bener butuh uang untuk makan dan hidup. Namun ada juga yang mengemis dijadikannya sebagai sebuah pekerjaan alias mata pencaharian. Ada yang buta, baik buta yang bener-bener buta ataupun yang pura-pura buta sambil menggunakan kaca mata hitam dan tongkat. Ada juga si buta yang dituntun oleh temannya yang sehat. Ada anak kecil yang menyebarkan amplop bertuliskan ”Mohon bantuan untuk biaya sekolah dan untuk makan  sehari-hari, Terimakasih.” Ada pengemis yang pincang beneran tapi ada juga yang pincang bohongan. Ada juga yang berpuisi, padahal tampangnya seperti preman. Ada ibu-ibu yang mengemis dengan mengorbankan bayinya dengan di gendong seharian di bawah guyuran hujan dan panggangan sinar matahari. Semua itu dilakukan dengan harapan penumpang bus yang berjumlah ± 54 orang menjadi lebih kasihan dan lebih banyak memberikan sumbangan recehannya. Tapi alhamdulillah jarang ada pengemis yang masih muda dan mudi alias remaja belasan tahun. Kita patut bersyukur jika generasi muda kita tak menjadi pemalas seperti pengemis-pengemis itu. Selanjutnya adalah si Peminta Sumbangan. Biasanya ia mengaku dari Pondok Pesantren atau petugas Pembangunan Masjid bagian Pencari dana. Mereka berseragam seperti kotoran cicak ”HITAM PUTIH”. Sebelum mereka berjalan  membawa kotak amal dan di sodorkan kepada para penumpang bus yang ingin berinfaq, mereka biasanya akan mengoceh bak burung beo yang hanya di ajarkan untuk mengucapkan “ASSALAMU ‘ALAIKUM….ASSALAMU ‘ALAIKUM…” setiap paginya. Setelah itu barulah kotak infaq diedarkankannya dari bangku penumpang depan sampai bangku pennumpang belakang. Mereka juga sebagaimana halnya pengemis ada yang bener-bener di-tugaskan mencari dana tapi banyak juga yang memanfaatkan tugas seperti itu untuk mengemis. Dan yang kedua itu orang sering menye-butnya adalah “PENGEMIS BERSERAGAM”.

Pedal 12

Jamak Qashar

Kita tinggalkkan suasana di dalam bus karena di daerah Pur-balingga aku mau  muntah  sebab tubuhku terpental-pental ke atas a-kibat jalanan di sana yang bergelombang dan tak rata serta ban mobil yang terlalu keras memompanya. Selain itu si pak supir yang masih muda darahnya sedang mendidih sehingga bus berlari bak Kimi Rai-konnen mengemudikan F 2007-  nya dan jalan tak kenal rambu-ram-bu. Lampu merahpun di terobosnya. Persis seperti mafia Sisilia yang lari dari kejaran Polisi Italia bagian Palermo karena mencuri uang dari bank atau ketahuan membawa narkoba.

Tiba-tiba…CIIIIIIIIITTTTTTT…..bus mendadak berhenti padahal di luar hujan deras turun tak terkira lebatnya. Aduhai…-ternyata aku telah sampai di TERMINAL PURWOKERTO. Aku belum sholat dhuhur, begitu turun dari bus langsung aku meluncur ke musholla di terminal. Jam sudah menunjukkan pukul 15.45 wib, artinya waktu ashar juga telah masuk. Kusegerakan wudluku, kuja-mak qashar Dhuhur dan Ashar, 2 rakaat-2 rakaat. Kuberdoa semoga hujan lekas berhenti supaya kami dapat mencari bus yang akan ber-angkat ke Kebumen dengan mudah. Aku juga berdoa memohon am-pun atas kekhilafanku kabur dari rumah serta agar aku tak malu dan  mampu menyiapkan muka dan hatiku serta jawaban yang  mene-nangkan  saat bertemu Ibu dan  keluargaku  nanti malam.

Sebab rencananya mereka juga akan datang menghadiri per-nikahan Kang Qorob dan sekalian menjemput si badung’AKU’.

Pukul 16.00 wib kami naik bus jurusan Jogja yang melewati Karanganyar, Kebumen. AC bus tersebut begitu dingin hingga tubuh-ku merinding menahan dinginnya suhu di dalam bus. Ongkos bus ter-sebut Rp 4.000,- perorang. Kakakku membayar dengan uang sepuluh ribuan. Beberapa menit kemudian bus memberhentikan kami di Pasar Karanganyar. Aku makin gugup, jantungku berdegup kencang seken-cang larinya zebra yang lari dari kejaran singa kelaparan. Darahku  mengalir deras bak air terjun Tawangmangu di Solo. Kutarik napas dan  kutata hatiku supaya tenang. Becak menawarkan tumpangan, kami bilang mau ke Plarangan (Kelurahan di mana Kang Ibun tinggal beserta keluarganya). Kakakku menawar harga sebelum menaikinya, setelah melalui tawar menawar dengan alot akhirnya kesepakatan di-peroleh dan akhirnya kami naik becak tersebut untuk menuju rumah kakakku Kang Ibun. Kasihan juga tukang becak tersebut demi meng-hidupi keluarganya ia rela membanting tulang ke aspal keras-keras. Padahal untuk seukuran dia pekerjaan yang cocok adalah beribadah dan dilayani putra dan putrinya karena memang usianya kurang lebih 60 tahun. Pelajaran berikutnya teman jika kau tak ingin hidup susah maka bekerjalah dengan keras dan cerdas serta jangan  malas seperti pengemis-pengemis bohongan yang tak tahu  malu itu serta jangan jadi tukang becak karena berat mengayuhnya. Dan juga harus rajin belajar untuk meningkatkan diri end then (kemudian terakhir) jangan lupa berdoa pada Allah yang Maha Kuasa.

Semakin dekat dengan rumah kakakku aku semakin gugup. Ingin rasanya aku balik ke Jakarta disebabkan rasa maluku yang  tak terkira. Tapi kakakku Mbak Buroh menasihatiku untuk tidak usah malu dan nanti di sana aku harus segera meminta maaf pada ka-kakku Kang Ibun karena telah  merepotkannya. Karena aku, Kang I-bun tak jualan tempe selama 3 hari yang berarti kerugian pasti di alaminya. Bagitu turun dari becak Mbak Buroh membayar tukang pe-narik dan penggenjot pedal becak Rp 6000,-”Terimakasih Bu semoga Allah menjadikan kalian keluarga yang sakinah, mawaddah, wa roh-mah, AMIN” kata Tukang becak tadi yang mengira kami adalah se-pasang suami istri. Aku tersenyum mendengar ucapan tadi.

Kuberjalan pelan-pelan menuju halaman rumah kakakku, dengan langkah pasti dan penuh keberanian untuk bertanggung jawab atas tingkahku yang tak terpuji seminggu yang lalu. Kuketuk pintu rumah Kang Ibun.

“Assalamu ’alaikum………” ucapku sambil mengetuk pintu.

“Wa’alaikum  salam…” terdengar jawaban dari dalam rumah.

Pintu terbuka pelan seolah pelan dan pelan sekali, begitu tampak ba-dan Kang Ibun langsung kupeluk, tubuh Kang Ibun yang bau keringat dan terbuka dadanya karena sedang membuat tempe. Rasa haru dan tangis menyelimuti suasana pertemuan itu. Seperti kami tak pernah bertemu sekian tahun akibat menahan  rasa  rindu dan kangen. Semua terjadi karena ikatan batin antara kami sebagai adik dan kakak kandung.

Aku minta pamit untuk mandi dulu, sekalian aku ingin menghapus air mata ini yang begitu sembab menempel di wajah luguku.

Setelah sholat maghrib kakakku menginterogasiku seperti de-tektif menginterogasi penjahat. Kujawab dengan sedikit kebohongan di sana dan di sini. Tidak seperti yang kuceritakan padamu diawal buku  ini kawan. Ingat bunyi benakku  tadi kan? ”Aku akan berusaha menjawab dengan jawaban yang menenangkan. Beginilah dialog yang terjadi antara aku dan Kang Ibun.

Sebenere kowe lungo kerono moro-moro pingin lungo utawa wis direncanake, Ibnu17 satu pertanyaan muncul dari Kang Ibun.

Yo aku pingin lungo ndadak bae Kang ra pernah direncanake 18 jawabku

Lha kowe minggat kuwi reng Jakarta nggo liburan  opo kanggo liyane? 19

Ah yo pingin liburan bae Kang kan mumpung isih bar tes semesteran 20

Lagi-lagi aku menghindar dengan alasan  ingin sholat isya se-habis itu aku pingin ke tempat Mbak Mud (kakak pertamaku). Setelah sholat Isya dan makan  malam aku silaturrahim ke rumah Mbak Mud, di sana aku  main bareng keponakanku. Pukul 21.00 wib Dias keponakanku dari Kang Ibun  memanggilku agar aku segera ba-lik ke Plarangan. Mbak Mud tinggal di desa Candi yang ber-sebelahan dengan Kel. Plarangan tapi tetap dalam satu kecamatan yaitu Karanganyar, Kebumen. Kuikuti Dias dari belakang. Ia sampai lebih dulu karena menggunakan sepeda. Sedang aku belakangan ka-rena jalan kaki. Aku masuk rumah dengan tenang sambil meng-gendong Alfi adiknya Dias yang masih berusia 2 tahun. Begitu ma-suk rumah aku langsung dipeluk Ibuku.

Ngapuntene kulo yo Mak 21 sambil terisak kuberusaha meng-ucapkan kata itu.

Yo ra popo, Ndung. Sing wis kliwat yo ra usah dipikirke, sing penting saiki kan wis ketemu lan ojo lungo ra pamit malih yo 22 Ibuku juga tak sanggup menyembunyikan tangisannya. Berikutnya kupeluk ayahku dan kucium beliau sambil memohon maaf atas kekhilafan si bontot ini. Semua ku ajak salaman dengan penuh hormat dan ku dapatkan suasana rasa sayang mereka kepadaku meskipun telah kulukai sanubari mereka.

Malam itu semua saudara-saudariku menyerbuku dengan berbagai pertanyaan. Kakak sepupuku laki-laki sekaligus guru matematikaku sewaktu MI Pak Yahya, Bu De ku dari pihak ibu dan ayah, kakakku kelima dan ketujuh juga tampak. Tapi kakakku yang keempat tak tampak. Katanya beliau tak ikut. Mereka semua ingin tahu keadaanku sewaktu di jalan dan di mana aku tidur? Bagaimana keadaan sepedaku dan di mana sekarang si jengki itu? Termasuk ayahku yang sekarang berkulit hitam karena dulu terkena penyakit kulit yang berobat dengan sayur ular jangan alas dan kadal juga mencerkaku dengan berbagai pertanyaan. Tapi hebatnya ia tak me-rahiku tapi hanya menasehatiku supaya tak mengulanginya lagi. Suasana haru menyelimuti malam itu hingga pagi harinya sebelum berangkat ke Prembun untuk menghadiri pernikahan kakakku ke 6 ”Qorob dengan Ainah”.

Kami berangkat ke Prembun dengan mobil travel yang disewa ayahku dari Pekalongan. Acara aqdunnikah berlangsung lancar  walaupun Kang Qorob sempet mengulangi ijab qabul sekali tapi tak mengurangi kesakralan dari acara penyatuan dua insan berbeda yang akan menunaikan sunnah Rasulullah itu. Adzan dhuhur bekuman-dang, kami sholat dhuhur berjamaah di musholla dekat rumah Kang Qorob. Tak lupa kami menjamaknya dengan ashar karena sehabis dhuhur kami akan langsung cabut ke Pekalongan. Benar, seusai sholat kami langsung tancap. Tawaran makan siang di sana pun tak kami terima.

RABBIGHFIRLII WALI WAALIDAYYA WAR-HAMHUMAA KAMAA RABBAYAANII SAGHII-ROO ” ( Ya Allah ampunilah dosa kedua orang tuaku dan kasi-hanilah mereka sebagaimana mereka mengasihiku sewaktu kecil )

Gubuk Warudoyong, Jatinegara, Cakung,

Jakarta, 30 Januari 2008

Muddasir Ibnu Thoha

Kosa kata Jawa :

1 Sopo sing Njenengan telpon Mbak (Siapa yang kamu telepon Mbak)

2 Lha opo sampeyane ra pamit karo Simak lan Bapak (Lha apa kamunya tidak pamit sama ibu dan bapak)

3 Nek aku pamit yo mesti ra oleh ra Mbak (Kalau aku pamit ya pasti tidak boleh dong Mbak)

4 Pirang ndino kowe numpak pit kok nganti geseng rumpeng koyo kuwi raine (berapa hari kamu naik sepeda kok sampai hitam kelam wajahmu itu)

5 Telung dino rung wengi Mbak, kenopo (3 hari dua malam Mbak, Kenapa)

6 Masmu  kuwi (Abangmu itu)

7wis mider-mider ngkluru kowe. Masmu kuwi ugi nganti tego ninggalke dodolan tempene ning Kebumen mung kanggo ngkluru kowe, reti ora? (Sudah kesana kemari mencari kamu. Ia tega meninggalkan barang dagangannya ’TEMPE’ di Kebumen hanya untuk mencari kamu, tahu tidak?).

8 Jare areng nggon kancamu sing Petukangan terus kerono rak ono Masmu dituduhi koncomu sing liyo sing ning Kedungwuni lha kerono podo bae rak ono ning kono terus masmu  lapor Polisi bar njaluk izin reng Simak, Simake dewe nangis terus 3 ndino rung wengi karo ngomong”Lha akune iki salah opo.Wong bocah anteng-anteng kok moro-moro ilang, lungo ora pamit. Eh Alah bocah diurus bener-bener kok koyo kiye (Katanya pergi ke tempat temanmu yang Petukangan terus karena tidak ada Masmu ditunjukkan tempat temanmu yang lain yang di Kedungwuni lha karena tidak ada juga di sana maka masmu lapor polisi setelah meminta izin pada Ibu, ibu sendiri menangis terus-terusan selama 3 hari 2 malam sambil mengucapkan,”Lha sayanya itu salah apa. Orang anak pendiam kok tiba-tiba menghilang, pergi tanpa pamit. Ya Allah anak diurus dengan benar kok seperti ini”)

9 ngarit suket (mencari rumput)

10 Opo kowene ora ninggal tulisan (Apa kamu tidak meninggalkan surat)

11 Aku ninggal tulisan sih Mbak tapi tak sog ke neng mburi foto wisuda TPA-ku (aku meninggalkan surat sih Mbak tapi aku letakkan di belakang pigura foto wisuda TPA-ku)

12 Sikil (Kaki)

13 nunut (ikut saja)

14 Pokoke wong kae (pokoknya orang itu)

15 kudu lungo dek kene (harus pergi dari sini)

16 ngalor ngidul ngetan ngulon (ke utara ke selatan ke timur dan ke barat)

17 Sebenere kowe lungo kerono moro-moro pingin lungo utawa wis direncanake, Ibnu (sebenarnya kamu perggi karena tiba-tiba ingin pergi atau  sudah direncanakan, Ibnu)

18 Yo aku pingin lungo ndadak bae Kang ra pernah direncanake (Ya aku ingin pergi tiba-tiba saja Mas tidak pernah direncanakan)

19 Lha kowe minggat kuwi reng Jakarta nggo liburan  opo kanggo liyane (Lha kamu kabur ke Jakarta untuk liburan atau untuk yang lainnya)

20 Ah yo pingin liburan bae Kang kan mumpung isih bar  tes semesteran (Ah ya ingin liburan saja Mas kebetulan kan masih liburan setelah ujian semester)

21 Ngapuntene kulo yo Mak (Maafkan aku ya Bu)

22 Sing wis kliwat yo ra usah dipikirke, sing penting saiki kan wis ketemu lan ojo lungo ra pamit malih yo (Ya sudah tidak usah dipikirkan, yang penting kan sudah ketemu dan jangan pergi tanpa berpamitan terlebih dahulu ya)

Ibnu Thoha

Lahir di Tunjungsari, Siwalan, Pekalongan. Di tingkat menengahnya ia bergelut di dunia teknik mesin perkakas yang menghantarkannya bekerja disalah satu pabrik otomotif di Jakarta. Sambil bekerja ia menjadi Relawan DSAK bagian perpustakaan dan Sepeda Jengki ini adalah tulisan perdananya.

Cita-citanya dulu adalah menjadi guru namun sekarang dirubahnya dengan ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Itulah cita-cita sederhananya

5 responses

27 02 2010
bocahbandel

hmmm….. gud story….
dadi eling pas jaman awakmu ilang.. eh moro2 ono kabar yen neng jakarta hahahaha….
kapan2 pit2an nang padang ae yukkk…. ! 😀

12 10 2010
ferdi

apak ang pantek

9 01 2011
ezra azhari kusuma

saya pernah ngentot

27 06 2011
Oh No..Oh Yes.. One Heart, One Year « Tunsa

[…] ada yang masih penasaran dengan nama desa saya silakan lihat di sini, sebuah novel karya pertama teman […]

18 10 2013
Nita amalia rosa

Gax nyangka and salut kakak kelazku dr SMP 3 bojong pekalongan jadi penulis novel
#semangat! ! !

Tinggalkan komentar